Penulis: Muhammad Luthfi Hamdani
Dalam hidup, salah satu yang sangat ingin kita raih adalah kondisi dimana semua hal bisa berjalan sesuai kehendak dan rencana kita. Peningkatan karir yang sejalan dengan kerja keras kita. Hubungan asmara yang harmonis dengan pasangan berjalan baik sebab kita baik juga kepadanya. Kesehatan yang terjaga sebagaimana kita menjaga nutrisi, pola tidur dan olahraga. Kekayaan yang terjaga juga bertambah seiring peningkatan literasi keuangan, keterampilan investasi, dan akuisisi aset kita.
Atau mengharapkan negara yang damai, aman, sejahtera sesuai harapan yang kita titipkan saat membayarkan iuran pajak atau memilih pemimpin 5 tahun sekali.
Setiap awal tahun, kita merencanakan resolusi, target atau capaian baru yang ingin kita raih di 365 hari ke depan. Sebagian misalnya ingin berwisata, beli mobil baru, melanjutkan studi, menikah, beli rumah, dlsb. Sebelum pergantian tahun, organisasi swasta maupun pemerintah mengevaluasi capaian strategi, menyusun beragam program kerja lengkap dengan taktik implementasi dan anggarannya.
Sebisa mungkin, kita menyusunnya menjadi item-item yang sangat rinci, minim variance (perbedaan) dan deviasi (penyimpangan), mengidentifikasi beragam risiko dan berupaya memitigasinya, sambil bilang: “Pokoknya semua harus terkontrol, terkendali, tidak boleh meleset dan gagal.”
Mo Gawdat, dalam buku “Solve for Happy; Engineer Your Path to Joy” (2017) menulis-kan bahwa kebutuhan kita akan rasa aman dan kendali ini bersifat naluriah sebagai manusia. Misalnya nenek moyang kita, yang berupaya ‘membangun kendali’ ini dengan sekadar berlari ketika harimau atau hewan buas lain datang.
Saat ini, “kendali” akan keselamatan diri itu kita wujudkan dalam beragam cara: memasang pagar yang tinggi, menggu-nakan CCTV yang aktif 24 jam, memilih tinggal di lingkungan yang menerapkan one-gate system dengan petugas keama-nan yang berjaga tiga shift, menyimpan nomor damkar, kepolisian, dan kontak darurat lain di smartphone.
Sialnya, segala rencana, program, keteraturan, kehati-hatian, pola-pola teratur yang mati-matian kita jaga, seringkali hancur gara-gara satu atau dua peristiwa random yang “di luar kendali” kita.
Contoh sederhana, ada sebagian orang yang taat berlalu lintas, melewati rute yang puluhan tahun dilewati untuk pulang dan pergi bekerja dengan aman, tiba-tiba di suatu pagi harus mengalami celaka sebab ulah pemotor ugal-ugalan.
Baca juga: Buku panduan membangun bisnis digital
Atau ada juga seseorang yang begitu mencintai dan menyayangi kekasihnya, berperilaku baik kepada pasangannya, tentu dengan harapan memperoleh perlakuan dan rasa yang sama, ternyata justru ditinggal pergi dengan orang lain. Tanpa alasan. Siapa yang bisa menduga?
Penulis buku “Filosofi Teras” (2018), Henry Manampiring secara khusus membahas perkara ‘kendali’ ini. Ia Menyusun daftar hal yang sejatinya tidak di bawah kendali kita, seperti: tindakan orang lain ke kita, opini orang lain ke kita, reputasi atau popularitas kita, kesehatan, kekayaan yang kita miliki, sahabat atau bahkan pilihan hidup sanak saudara kita (ya, seperti kisah nabi Nuh dengan anak dan istrinya, atau bahkan nabi Muhammad dengan pamannya, Abu Thalib).
Semua hal tersebut di luar kendali manusia dan bisa hilang dengan sangat mudah, dalam waktu sekejap.
Itu di level pribadi. Pada skala yang lebih besar, Nassem Nicholas Taleb menuliskan situasi yang ia amati saat terjadi peristiwa Black Monday, 19 Oktober 1987. Saat itu pasar saham global anjlok dan diper-kirakan kerugian mencapai 500 miliar USD. Seperti dikisahkan Taleb, kepanikan terjadi di Manhattan dan tempat-tempat lain, hingga terjadi beberapa kasus bunuh diri.
Di bukunya “ The Black Swan; The Impact of the Highly Improbable” (2007), Taleb ingin menyampaikan bahwa peristiwa yang langka dan (seolah) mustahil terjadi, ternyata jauh lebih sering terjadi dari yang kita bayangkan – dan berdampak signifikan. Penulis asal Lebanon ini mencontohkan perang dunia I, serangan 11 September di Amerika, kemunculan internet, krisis kredit perumahan di Amerika yang berefek domino menjadi krisis ekonomi global 2008, kesuksesan penulis ‘nyeleneh’ bernama Yevgenia Krasnova, atau bahkan perang saudara di Libanon tahun 80-an.
Dalam kajian Manajemen Strategi Bisnis, ketidakpastian dari aspek-aspek yang di luar kendali ini juga dibahas khusus. Wheelen dan Hunger di bukunya “Strategic Management and business Policy” (2012) menuliskan bahwa memahami dan mengidentifikasi kondisi lingkungan eksternal perusahaan sebelum merumuskan rencana jangka panjang (strategi) dan menentukan posisi kompetitif.
Kedua penulis meringkasnya dengan istilah analisis STEEP, yaitu: Sociocultural, Technological, Economic, Ecological, Political-Legal. Masing-masing memiliki sub-item yang banyak lagi. Namun karena faktor eksternal, mau bagaimanapun tetap di luar kendali. Misalnya pertumbuhan ekonomi (GDP), tingkat kelahiran, penemuan teknologi baru, pemanasan global, regulasi industri dari pemerintah; semuanya di luar kendali perusahaan.
Perusahaan raksasa seperti Nokia hancur karena gagal bersaing dengan teknologi terbaru smartphone (Android), Sritex (SRIL) yang dulu sempat jaya ternyata harus pailit salah satunya sebab banjir produk tekstil impor dari China, perusahaan rintisan (start-up) Indonesia yang bangkrut sebab tiba-tiba kehilangan investor yang jadi penggerak utama model bisnis mereka.
Dari peristiwa makro tersebut, ada ribuan atau mungkin jutaan kisah yang menyertainya. Tenaga pemasar (marketing), finance, operasional, bagian gudang, atau HR yang sudah berjuang luar biasa, tiba-tiba tetap di PHK, terkena layoff sebab pergeseran atau perubahan kondisi makro ekonomi dan industri. Padahal rencana, program dan teknik terbaik sudah mereka jalankan.
Lalu apa sebenarnya yang bisa kita kendalikan?
Mo Gawdat dan Henry Manampiring sepakat bahwa yang sejatinya bis akita kendalikan hanya: keinginan, tujuan, sikap dan tindakan kita. Hal ini menjadi bekal bagi kita menghadapi beragam peristiwa acak, merugikan atau bahkan menguntungkan yang menimpa hidup. Manampiring mengutip para filsuf Stoa (Stoic) yang mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati hanya datang dari “things we can control”.
Gawdat mengelaborasi ‘Konsep Pelepasan’ dalam ajaran Hindu; Ketika semua yang tidak terduga terjadi, konsep pelepasan ini menyuruh kita menerima arah baru dan terus mencoba lagi. Perilaku yang sama dipraktikkan oleh orang islam zaman dulu, mereka seringkali ‘mengikat kuda kemudian melepaskan kendalinya’. Kedua konsep ini oleh Gawdat disebut ‘penerimaan berkomitmen’ (committed acceptance).
Manampiring dan Gawdat tentu tidak menyarankan kita sekadar hidup mengikuti arus, tanpa rencana dan upaya, pasrah pada nasib, dan sejenisnya. Namun, kita diajarkan untuk melakukan tindakan bertanggung jawab dulu, baru melepaskan keinginan untuk memegang kendali. Pada praktiknya, kesuksesan dalam hidup hanya akan dicapai darin upaya tekun kita, bukan harapan-harapan selangit. Dalam islam kita mengenal konsep ‘ikhtiar dulu, pasrahkan hasilnya kemudian (tawakkal)’
Juga, kita tetap harus membuat rencana dan program-program dalam karir, kehidupan pribadi maupun bisnis, tanpa berupaya mati-matian untuk mengendalikan semua hal yang berkaitan dengannya.
Pemahaman mengenai kendali ini juga sangat penting untuk menyelamatkan kita dari kecemasan berlebih, ketakutan, perasaan gagal, mengutuk takdir, menyalahkan ‘kualat’ dan lain sebagainya.
Nyatanya, dari dulu hidup manusia selalu diwarnai dengan peristiwa di luar kendali dirinya; anak nabi Adam yang membunuh sudaranya, banjir besar di masa nabi Nuh, pandemi Covid-19, resesi, pilihan hidup anak-anak kita atau bahkan sekadar omongan tetangga, komentar buruk Netizen di media sosial, dikhianati sahabat.
Taleb menjelaskan bahwa dunia modern ini dipenuhi oleh ‘Angsa Hitam’ (Black Swan); peristiwa-peristiwa yang susah atau mustahil diprediksi karena sangat jarang terjadi, namun memiliki konsekuensi yang sangat buruk.
Maka yang bisa kita siapkan hanya:
Mempersiapkan diri dalam setiap keadaan apapun, berpikiran terbuka setiap kemungkinan yang terjadi, kritis pada asumsi kita tentang prediktabilitas dan kendali, melihat melampaui pemahaman konvensional kita tentang risiko, menghargai kompleksitas dunia, dan bersikap skeptis, terutama terhadap media dan orang-orang yang suka meramal.
Buku di atas yang menjadi sumber tulisan tentang ‘kendali’ dan ‘ketidakteraturan’, dan sangat direkomendasikan untuk dibaca.