Penulis: Luthfi Hamdani
Kemarin sepasang buku dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) merapat ke koleksi @indonesiaimaji . Kedua buku berjudul “Ekonomi Inovasi” dan “Kebijakan Inovasi dan Ekonomi Digital”.
Keduanya membahas urgensi pengetahuan sebagai basis pengembangan inovasi ekonomi. Sederhananya, pengetahuan akan menciptakan ide lebih baik dan merangsang peningkatan produksi, menciptakan investasi yang kelak mengarah pada akumulasi modal (kapital). Didasarkan pada Model Pertumbuhan Solow dan Paradigma Schumpterian khususnya berkaitan dengan destruksi kreatif.
Huda dan Tanos (2021), penulis buku kedua, mengamati bahwa salah satu sumber masalah stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia (kisaran 5%) adalah tingginya nilai Iincremental Capital to Output Ratio (ICOR) sebesar 6,7 pada tahun 2019. Nilai ICOR menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan investasi dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi, semakin buruk. Lalu penyebab tingginya nilai ICOR kita tadi adalah tingkat kapabilitas inovasi dan kesiapan teknologi Indonesia yang masih stagnan.
Menyikapi kondisi ini, para penulis menawarkan ide dan beberapa contoh praktis upaya dari pemerintah maupun swasta. Prathama dan Yustika (2021) menyoroti pentingnya kepemilikan komputer oleh rumah tangga, sebab ia adalah alat terpenting dalam kemajuan teknologi. Penulis kedua buku memberikan perhatian khusus pada penetrasi internet, atau lebih luas mengatasi kesenjangan digital.
Sumber Daya Manusia juga punya peran vital, sebab jadi kunci seberapa cepat akselerasi pengetahuan dan ide akan meningkatkan produktifitas ekonomi. Disisi lain, kemajuan teknologi hadirkan Gig Economy, dimana pekerja merasa memiliki kebebasan dan otonomi memilih tim, menentukan besaran tanggung jawab, juga jam kerja. Saat ini kita mengenal freelancer, kontraktor independen, pekerja bebasis project dan pekerja temporer.
Perhatian khusus juga perlu diberikan pada kebijakan pendanaan R&D Fund dari sektor publik maupun swasta guna mendorong inovasi. Kondisi saat ini, R&D Fund Indonesia masih relatif rendah, berada pada angka 0,24 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hanya unggul atas Myanmar, Kamboja dan Filipina.