Peringkat Indonesia dalam Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index/HDI) menunjukkan gambaran suram: posisi ke-114 dari 191 negara di dunia dan peringkat ke-11 dari 24 negara di Asia Pasifik. Di kawasan ini, kita tertinggal jauh dibandingkan Singapura (peringkat 12 dunia), Brunei Darussalam (peringkat 51 dunia), Malaysia (peringkat 62 dunia), Thailand (peringkat 66 dunia), dan bahkan China (peringkat 79 dunia). Realitas ini seharusnya menjadi peringatan serius bahwa Indonesia masih tertinggal dalam berbagai aspek pembangunan manusia.
HDI mengukur pencapaian suatu negara berdasarkan tiga dimensi utama: pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, skor rendah ini menunjukkan bahwa kualitas pendidikan, derajat kesehatan, dan tingkat kesejahteraan belum optimal. Sebagai negara dengan potensi demografi yang besar, kegagalan meningkatkan HDI berarti kita menyia-nyiakan modal manusia yang dapat menjadi kekuatan ekonomi dan sosial.
Salah satu penyebab utama rendahnya HDI Indonesia adalah tingginya pengangguran pada usia produktif. Data BPS 2023 menunjukkan bahwa pengangguran usia muda (15-24 tahun) mencapai 16,46 persen, sementara pengangguran usia 25-29 tahun sebesar 3,85 persen. Tingginya angka ini mengindikasikan adanya ketidaksesuaian antara pendidikan formal dengan kebutuhan dunia kerja. Sistem pendidikan kita sering kali tidak mampu menjembatani gap keterampilan, sehingga lulusan tidak memiliki kompetensi yang sesuai dengan pasar kerja.
Baca Juga: Buku Referensi Membangun Bisnis Sosial
Selain itu, rendahnya angka tenaga kerja bersertifikasi menjadi tantangan tersendiri. Dalam sektor konstruksi, misalnya, hanya sekitar 15 persen tenaga kerja yang memiliki sertifikasi, dari kebutuhan sekitar 8 juta tenaga kerja per tahun. Ini menunjukkan kurangnya investasi dalam pengembangan keterampilan. Akibatnya, tidak hanya tenaga kerja sulit terserap pasar, tetapi juga kualitas proyek infrastruktur yang dihasilkan menjadi kurang optimal.
Fenomena tenaga kerja informal yang tinggi juga menjadi cerminan rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pada Februari 2023, hanya 39,88 persen tenaga kerja yang berada di sektor formal, sedangkan 60,12 persen sisanya bekerja di sektor informal. Ketergantungan pada sektor informal ini bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga sosial, karena tenaga kerja informal sering kali tidak memiliki perlindungan hukum, upah layak, atau akses jaminan sosial.
Masalah lainnya adalah konsentrasi tenaga kerja yang masih tinggi di sektor pertanian, sementara kontribusi sektor ini terhadap PDB terus menurun. Rendahnya migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain yang lebih produktif disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan. Hal ini menghambat diversifikasi ekonomi, yang sangat penting untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Rendahnya kualitas pendidikan juga berkontribusi terhadap persoalan ini. Meskipun angka partisipasi sekolah telah meningkat, kualitas pendidikan yang dihasilkan masih jauh dari memadai. Kurikulum yang belum terintegrasi dengan kebutuhan industri dan kurangnya pelatihan vokasional yang relevan menjadi salah satu penyebab utama. Tanpa perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, sulit bagi Indonesia untuk memanfaatkan bonus demografi.
Di sisi kesehatan, tantangan besar lainnya adalah angka stunting yang masih tinggi, yang mencerminkan buruknya gizi dan layanan kesehatan. Stunting berdampak langsung pada kemampuan kognitif anak-anak, yang pada akhirnya memengaruhi produktivitas mereka di masa depan. Dalam konteks HDI, aspek kesehatan seperti ini menjadi indikator penting yang harus segera diperbaiki.
Untuk mengatasi berbagai tantangan tersebut, diperlukan pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Pertama, pemerintah harus memperkuat sistem pendidikan vokasional dan pelatihan kerja agar sesuai dengan kebutuhan industri. Investasi dalam pendidikan berbasis keterampilan harus diprioritaskan, termasuk peningkatan sertifikasi tenaga kerja di berbagai sektor.
Kedua, pengembangan sektor formal harus diakselerasi dengan menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas. Reformasi regulasi yang mendukung dunia usaha dan peningkatan infrastruktur digital dapat membantu mempercepat transformasi ini. Selain itu, perlindungan bagi pekerja informal perlu diperkuat, baik melalui akses jaminan sosial maupun pemberdayaan ekonomi.
Ketiga, strategi pengurangan ketergantungan pada sektor pertanian perlu difokuskan pada peningkatan produktivitas pertanian melalui modernisasi dan diversifikasi ekonomi. Program pelatihan dan migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain yang lebih produktif juga harus digenjot.
Rendahnya peringkat HDI Indonesia tidak boleh dipandang sebagai nasib, melainkan tantangan yang harus dihadapi dengan kebijakan yang tepat. Jika Indonesia ingin bersaing di kancah global, investasi dalam pembangunan manusia harus menjadi prioritas utama. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas, mimpi menjadi negara maju hanya akan menjadi utopia.