Penulis: Muhammad Luthfi Hamdani
Perubahan kebijakan fiskal kembali menjadi sorotan publik setelah pemerintah mengumumkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Langkah ini semula diharapkan mampu mendukung stabilitas penerimaan negara, tetapi di sisi lain mengundang kekhawatiran masyarakat yang masih berjuang dengan pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Di tengah lonjakan harga barang kebutuhan pokok, keputusan ini menambah beban psikologis dan finansial masyarakat yang sudah menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Ketidakpastian itu terasa nyata, tidak hanya dalam rumah tangga tetapi juga di sektor industri. Beberapa industri strategis terpantau lesu, bahkan beberapa perusahaan besar yang sebelumnya dianggap kokoh kini harus mengajukan kebangkrutan. Seperti yang terjadi pada industri tekstil, alas kaki dan lain sebagainya.
Dunia usaha tengah bergulat dengan inflasi, kenaikan biaya produksi, dan daya beli masyarakat yang melemah. Dalam situasi seperti ini, masyarakat didorong untuk mencari strategi bertahan, salah satunya melalui kampanye “frugal living” yang kian populer.
Mengenal Frugal Living
Frugal living, atau gaya hidup hemat, sebenarnya bukan hal baru. Konsep ini menekankan pada pengelolaan keuangan pribadi yang efisien dengan cara memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan.
Mengutip dari situs web frugalspartans.com, frugality didefinisikan sebagai berikut:
Frugality is defined as the practice of being economical with one’s money and resources. It involves making conscious decisions about spending and saving money, as well as reducing waste and consumption.
People who practice frugality are often referred to as “frugalists” or “thrifty people”.
Intinya, dalam setiap pengambilan keputusan keuangan harus atas kesadaran penuh (butuh atau gak butuh), serta mengurangi pemborosan dan konsumsi berlebih.
Konsep ini jika ditelusuri sudah berakar lama dalam sejarah peradaban manusia. Misalnya dalam Al-Qur’an yang mengajarkan untuk menghindari pemborosan. Di QS. Al Isra: 27 digambarkan bahwa pelaku pemborosan adalah “saudaranya Setan”.
Di Yunani kuno, filsuf Aristoteles menulis tentang pentingnya berhemat dalam karyanya “Nicomachean Ethics”, yang menyatakan bahwa “orang yang pengeluarannya moderat tidak akan kekurangan” (Aristoteles, 1094a).
Prinsip dasarnya adalah mengurangi pengeluaran untuk hal-hal yang tidak esensial dan lebih fokus pada tujuan jangka panjang seperti tabungan atau investasi. Meski terdengar sederhana, penerapan frugal living membutuhkan kedisiplinan dan perubahan pola pikir.
Namun, di balik daya tariknya, frugal living menghadirkan paradoks bagi perekonomian. Sebagai konsumen, masyarakat khususnya kelas menengah adalah motor penggerak utama ekonomi.
Ketika pengeluaran rumah tangga ditekan, permintaan barang dan jasa menurun. Kondisi ini bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menciptakan lingkaran setan: daya beli masyarakat melemah, pendapatan pelaku usaha berkurang, dan akhirnya berimbas pada pemutusan hubungan kerja.
Baca Juga: Buku Referensi Membangun Bisnis Sosial
Lalu, apakah frugal living merupakan langkah bijak di tengah situasi ekonomi yang tidak menentu? Dalam kondisi tertentu, frugal living bisa menjadi solusi yang rasional, terutama untuk melindungi kestabilan finansial pribadi.
Namun, penerapan yang keliru bisa menjadi bumerang, baik bagi individu maupun perekonomian secara keseluruhan.
Penerapan frugal living yang bijak tidak berarti memangkas semua pengeluaran secara ekstrem. Sebaliknya, kita perlu memilah kebutuhan berdasarkan prioritas. Misalnya, pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, atau investasi harus tetap menjadi prioritas utama.
Di sisi lain, pengeluaran untuk gaya hidup konsumtif, seperti makan di restoran mewah atau berbelanja barang bermerek, bisa ditekan.
Salah satu cara sederhana untuk memulai frugal living adalah dengan menyusun anggaran rumah tangga yang realistis. Caranya dengan mencatat semua pemasukan dan pengeluaran secara rinci, lalu identifikasi pos pengeluaran yang bisa kita optimalkan.
Memanfaatkan teknologi seperti aplikasi pengelola keuangan juga dapat membantu kita mengontrol pengeluaran sehari-hari. Beberapa contohnya seperti Finansialku, Monefy, atau Sribuu.
Selain itu, kita bisa menerapkan prinsip value for money dalam setiap transaksi. Artinya, pastikan setiap pengeluaran memberikan manfaat maksimal. Membeli barang dalam jumlah besar dengan harga grosir, misalnya, bisa menjadi langkah hemat sekaligus efisien.
Tidak kalah penting, kita juga perlu menghindari kebiasaan belanja impulsif yang sering kali memicu pemborosan.
Penting untuk diingat bahwa frugal living bukan berarti hidup dalam serba keterbatasan. Gaya hidup ini justru mengajarkan kita untuk hidup lebih terencana dan bertanggung jawab.
Dengan pengelolaan keuangan yang baik, kita tidak hanya bisa menghadapi ketidakpastian ekonomi, tetapi juga menciptakan cadangan finansial yang cukup untuk menghadapi situasi darurat.
Dalam skala makro, pemerintah dan pelaku usaha perlu membaca fenomena ini sebagai sinyal penting. Ketika masyarakat mulai berhemat, artinya ada keresahan yang belum terjawab.
Kebijakan ekonomi yang proaktif, seperti insentif pajak bagi kelas menengah atau subsidi untuk barang kebutuhan pokok, perlu diprioritaskan untuk menjaga daya beli masyarakat.
Pada akhirnya, frugal living adalah respons logis di tengah tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Namun, efektivitasnya bergantung pada cara kita mempraktikkannya dan sejauh mana pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mendukung keseimbangan antara kebutuhan individu dan stabilitas ekonomi nasional.
Frugal living bukan sekadar tren, melainkan refleksi dari adaptasi masyarakat menghadapi dinamika ekonomi.