Penulis: Muhammad Luthfi Hamdani
Pada beberapa dekade terakhir, perkembangan teknologi melaju begitu pesat, membawa inovasi-inovasi yang awalnya diyakini mampu meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan ekonomi secara global.
Kita mengenal istilah dan praktik seperti Smart Manufacturing, Digital Marketing, Software as a Service (SaaS), Big Data, Internet of Things (IoT), hingga yang begitu familiar untuk UMKM seperti Chatbot.
Namun fenomena yang terjadi justru berbanding terbalik. Di tengah masifnya penggunaan teknologi dalam berbagai sektor, ekonomi Indonesia juga global justru menghadapi berbagai tantangan serius. Seperti meningkatnya angka pengangguran, gelombang PHK besar-besaran, dan dampaknya generasi muda sulit mengakses kebutuhan mendasar seperti hunian.
Fenomena yang juga tidak bisa disepelekan adalah peningkatan stres kerja. Hasil riset dari lembaga SPILL mencatat bahwa 6 dari 10 pekerja di secara global mengalami peningkatan stres kerja. Lalu ada sekitar 17 juta hari kerja yang hilang setiap tahun sebab “sakit” yang muncul dampak dari stres kerja, depresi dan kecemasan.
Produktivitas Stagnan di Era Digital
David Wallace-Wells dalam bukunya The Uninhabitable Earth (2018) mengungkapkan fenomena yang menarik:
Meskipun komputer dan internet telah mempermudah berbagai aspek pekerjaan, periode ketika inovasi-inovasi ini diperkenalkan malah identik dengan stagnasi produktivitas, gaji, dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju.
Alat-alat seperti perangkat lunak Spreadsheet, aplikasi manajemen data, hingga email awalnya diprediksi akan meningkatkan efisiensi bisnis secara signifikan. Namun, data menunjukkan hal sebaliknya.
Selanjutnya, menurut laporan “Global Economic Prospect” dari World Bank pada Oktober 2023, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan hanya mencapai 2,4% di tahun 2024, melanjutkan tren perlambatan sejak 2020.
Di sisi lain, laporan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mencatat bahwa tingkat pengangguran global pada 2023 mencapai angka 5,8%, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Bahkan di Indonesia, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023 menunjukkan ada lebih dari 7,6 juta orang yang masih menganggur.
Data ini terus didukung oleh berita PHK yang membanjiri media masa. Data yang dihimpun KataData dalam Databoks dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa 64.751 pekerja terkena PHK selama tahun 2024. Kondisi ironis yang semakin menguatkan tren pelemahan industri manufaktur di Indonesia.
Jika teknologi seharusnya membantu, mengapa kondisi ini terjadi?
Wallace-Wells berpendapat bahwa satu faktor utama yang kerap diabaikan adalah dampak perubahan iklim terhadap produktivitas. Penelitian menunjukkan bahwa suhu panas ekstrem dapat menurunkan performa kognitif manusia.
Dalam bukunya, Wallace-Wells menuliskan: “Komputer sudah membuat kita lebih efisien dan produktif, tapi pada waktu yang sama perubahan iklim sudah berefek sebaliknya, mengurangi atau meniadakan sama sekali dampak teknologi.”
Laporan Nature Communications (2022) mengungkapkan bahwa peningkatan suhu global sebesar 1°C saja dapat mengurangi produktivitas pekerja sebanyak 10% di sektor yang sensitif terhadap cuaca, seperti pertanian dan konstruksi.
Tak hanya itu, polusi udara yang semakin parah akibat aktivitas industri juga memiliki efek signifikan terhadap kemampuan otak manusia. Studi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2020 menemukan bahwa paparan jangka panjang terhadap polusi udara dapat menurunkan fungsi kognitif hingga 13%.
Efek ini menciptakan paradoks: pada saat penggunaan teknologi mempermudah pekerjaan, kondisi lingkungan memperburuk kemampuan manusia untuk bekerja secara efektif.
Kesalahan Arah Pemanfaatan Teknologi
Masalah lainnya adalah bagaimana teknologi digunakan. Alih-alih menciptakan pekerjaan baru yang layak, banyak inovasi justru menggantikan tenaga manusia. Contohnya adalah otomatisasi dan kecerdasan buatan (A.I), yang telah merampingkan proses operasional di banyak industri.
Laporan McKinsey Global Institute (2023) memprediksi bahwa 400 juta pekerjaan akan terotomatisasi pada 2030. Gelombang otomatisasi ini menciptakan ketimpangan besar di pasar tenaga kerja, di mana kelompok yang kurang terampil menjadi korban utama.
Selain itu, teknologi digital telah menciptakan kondisi industri yang bisa diistilahkan “The winner takes all market” di mana perusahaan besar seperti Amazon, Google, grup Shopee dan Meta memonopoli pasar, sedangkan kompetitornya sudah banyak yang “berguguran”.
Dampaknya juga dialami pekerja lepas (freelancer) dan pekerja kontrak yang harus berada dalam kondisi serba ketidakpastian. Kondisi ini memperparah stagnasi ekonomi dan ketimpangan pendapatan.
Harapan ke Depan
Meskipun situasi ini tampak suram, teknologi tetap memiliki potensi besar jika diarahkan dengan benar. Investasi dalam energi terbarukan, peningkatan akses pendidikan teknologi, serta kebijakan ekonomi yang inklusif dapat menjadi solusi.
Pemerintah dan perusahaan harus berkolaborasi untuk memastikan bahwa teknologi digunakan untuk menciptakan lapangan kerja yang layak, bukan sekadar meningkatkan efisiensi dengan mengorbankan pekerja manusia.
Kita berada di persimpangan penting dalam sejarah ekonomi global. Teknologi dapat menjadi alat yang memperbaiki kondisi dunia atau justru memperburuk ketimpangan. Keputusan yang kita ambil hari ini akan menentukan nasib generasi mendatang.
Di level individu, upaya-upaya menjaga kelestarian lingkungan juga perlu terus kita galakkan. Meminimalisir sampah, konsumsi secara bijak dan khususnya mengurangi emisi karbon individu.