Penulis: Naili Amalia, MM
Kesadaran masyarakat untuk berinvestasi pada saham sangatlah rendah. Bagaimana tidak, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia sangatlah sedikit masyarakat yang tergolong dalam investor pada pasar saham. Benar adanya bahwa berdasarkan data tahun 2019 terjadi peningkatan 20%, yang sekarang menjadi 3.02 juta investor (Kontan.co.id, Okt 2020). Namun, jumlah tersebut hanya sekian persen dari total keseluruhan penduduk Indonesia.
Banyak orang tidak percaya terhadap investasi, karena banyak penyalahgunaan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab atas pengelolaan uang atau dana nasabah. Seperti kita tahu beberapa orang terjerumus pada investasi bodong. Salah satu kasus terbaru yang menyangkut Perusahaan Jouska, membuat masyarakat sangat geram dan menimbulkan sugesti untuk semakin tidak percaya terhadap investasi saham. Selain itu, juga ada faktor kurang melek akan literasi mengenai keuangan non rill.
Tahun 2020 begitu mengejutkan dengan sederetan peristiwa penuh drama dan dilema. Setidaknya ada 3 hal terpenting sepanjang tahun 2020 hingga saat ini: wabah Covid-19, pro-kontra Omnibus Law Cipta Kerja, dan proses produksi vaksin. Ketiganya menjadi objek pembicaraan utama yang menyebabkan bergejolaknya harga saham secara signifikan. Sifat dari saham yang sangat sensitif terhadap suatu peristiwa baik dalam perusahaan maupun faktor dari luar perusahaan. Hal ini menuntut para investor untuk aktif akan perkembangan serta isu kinerja perusahaan maupun isu ekonomi secara makro.
Dasar dunia saham ada 2 proses, yaitu trading dan investasi. Pada objek sama tapi melakukan kegiatan yang berbeda. Trading merupakan transaksi jual beli saham dengan pemanfaatan pergerakan grafik yang dilandasi adanya peningkatan volume perdagaangan, sehingga meningkatkan harga saham suatu emiten dan taking profit dalam waktu singkat. Investasi merupakan jual beli saham dengan jangka waktu panjang dimana investor mengharapkan pertumbuhan emiten secara konstans meningkat.
Selain bertujuan mendapatkan capital gain, investor juga mengharapkan adanya pembagian dividen. Jika dilihat dari kedua proses di atas, trading memiliki jangka waktu lebih singkat ketimbang investasi. Jika melihat risiko, justru trading memiliki risiko lebih besar ketimbang berinvestasi. Rata-rata trader hanya mematok target profit harian sekitar 3% hingga 6%. Salain itu, trader memaksa dirinya untuk aktif memantau serta menggali isu ekonomi secara makro maupun spesifik dalam suatu perusahaan.
Isu ekonomi atau isu suatu emiten sangat berpengaruh secara cepat terhadap pergerakan saham. Beberapa kasus telah dibuktikan baik dalam isu bersifat positif maupun bersifat negatif, pasti saham akan berespon dengan cepat. Salah satu contohnya adalah saat awal pengumuman pasien Covid-19, IHSG bereaksi merah turun tajam. Sementara itu, pertengahan bulan ini adanya good news dari Tesla yang akan membangun pabrik di Jawa Tengah, membuat reaksi dari sektor pertambangan meroket.
Rekomendasi untuk trading dalam waktu dekat ini benar, terlihat bahwa saham emiten ANTM & INCO memiliki gejolak meningkat untuk taking profit. Posisi tersebut tepat karena atas dasar adanya good news dari Tesla, meningkatnya produksi pada perusahaan tersebut dan menigkatkan volume transaksi pada emiten tersebut. Jika dilihat secara fundamental ANTM memiliki PER -9.6X, PBV 0.6X, ROE 1.2%. Sedangkan INCO memiliki PER 11.3X, PBV 0.7X, ROE 5.9%. Dari dua emiten tersebut ANTM lebih cocok untuk trading sedangkan INCO lebih condong cocok untuk investasi, karena memiliki fundamental lebih bagus.
Menarik kembali ke masa awal Covid-19 saat semua sektor lesu, IHSG seolah “merah berdarah”. Tetapi ada beberapa sektor yang mampu kembali dengan cepat. Menarik sekali memang untuk taking profit pada masa dua hingga tiga bulan dari awal Covid-19. Sektor perbankan utamanya mampu merubah keadaan menjadi lebih baik.
Tentunya banyak sekali emiten perbankan Auto Reject Atas (ARA), seperti BBCA, BBRI, BMRI, BBNI, BJBR dan lain sebagainya. Bukan hanya dari sisi fundamental perbankan tersebut memiliki kinerja baik tetapi momentumlah yang membuat perubahan fluktuasi tinggi, sehingga dari pergerakan tersebut dapat dimanfaatkan banyak investor untuk taking profit.
Bulan ini kita dikejutkan dengan pergerakan Auto Reject Atas (ARA) BRIS karena kesepakatan melakukan merger dengan berbagai bank syariah lainnya, seperti Bank Mandiri Syariah, Bank BNI Syariah. Dari penggabungan tiga bank tersebut, menjadikan Bank Mandiri (BMRI) sebagai pemegang saham mayoritas BRIS yaitu sebesar 51% (CNBC, 21 Okt 2020). Kurun waktu minggu ini hingga minggu depan BRIS akan mengalami peningkatan yang merubah drastis keadaan harga saham sebelumnya. Jika dilihat tren ini, maka untuk melakukan investasi pada BRIS, investor masih bisa melakukan hold enam hingga 1 tahun kedapan. Karena emiten perbankan syariah pada bursa hanya BRIS dan BTPS. Di antara kedua emiten tersebut BRIS memiliki harga jauh lebih terjangkau.
Mulai awal tahun 2020, beberapa sektor dalam Bursa Efek Indonesia selain perbankan, farmasi, tambang, telkomunikasi yang mampu bertahan yaitu sektor industri barang konsumen. Menurut penulis pribadi, lebih menrik dengan pergerakan saham pada sektor industri consumer goods. Pada sektor tersebut memiliki beberapa emiten dengan kinerja perusahaan bagus, seperti ICBP, INDF, WOOD, SIDO yang semua dapat dijadikan bahan pertimbangan rekomendasi untuk buy and hold pada jangka menengah maupun jangka panjang.
Secara teknikal memang sekarang ini ICBP dan INDF belum ada pantulan untuk Auto Reject Atas (ARA), tetapi dalam beberapa bulan akan signifikan meningkat. Emiten WOOD dan SIDO dalam minggu ini dan minggu depan cocok untuk trading dan taking profit. Jika dilihat WOOD memiliki 8.3%, PBV 0.6X, PER 6.8X, secara fundamental cukup bagus untuk dilakukan trading maupun investasi.
Ingat bahwa setiap usaha ada sisi keuntungan pasti pula melekat sisi risiko. “Hight risk hight return” jadi slogan yang selalu melekat pada dunia investasi saham. Tidak ada sesuatu jalan mulus semua, namun pasti memiliki risiko dan risiko tersebut tidak dapat dihindari. Namun adanya risiko tersebut bisa ditekan atau diminimalisir.
Terdapat beberapa strategi untuk meminimalisir risiko pada portofolio saham yaitu dengan diversifikasi (variasi emiten pada susunan portofolio). Selain itu ada pula bagi trader jika tidak menyampai target minimum profit pada jangka waktu singkat harus dilakukan cut-loss (menjual rugi).
Dari penjabaran di atas, yang bisa kita pahami adalah untuk menjadikan setiap transaksi yang dilakukan sebagai pembelajaran untuk menjadi investor jauh lebih cerdas, peka terhadap isu ekonomi-bisnis, serta memahami betul analisa fundamental dan teknikal.