Penulis: Luthfi Hamdani
Ada satu bagian menarik dari buku best-seller berjudul Filosofi Teras, karya Henry Manampiring. Pada bab ke-9 ia mengulas penerapan Stoisisme (Filosofi Teras) dalam parenting, lebih khusus tentang mendidik anak.
Sebelumnya, mari kita maknai dulu filsafat. Setyo Wibowo, dari STIF Driyarkara dalam pengantar buku tersebut menulis bahwa filsafat adalah praktik dan latihan, sebuah seni hidup (h. xi). Sedangkan di buku lain, A.A Wattimena menjelaskan filsafat dalam aplikasi keseharian adalah tentang menjelajahi beragam cara berfikir yang benar, guna mencapai kebahagiaan hidup. (v; 2015).
Kembali ke parenting ala Stoisisme. Beberapa poin utamanya adalah:
Pertama, membiasakan mendidik anak menggunakan nalar. Artinya, anak dibiasakan mengambil pilihan berdasar pertimbangan sendiri. Lebih jauh, pola ini akan melatih mereka berpikir, mengumpulkan informasi dan data serta bertanggungjawab atas pilihan sendiri. Sebagai orang tua, tentu tugas kita lebih berat untuk memberikan penjelasan pertanyaan “kenapa?” dari mereka dibandingkan memaksa menurut, patuh atas instruksi kita.
Kedua, membekali growth mindset (mentalitas bertumbuh). Anak diajarkan bahwa kegagalan bukanlah bukti kebodohan, tapi merupakan fase yang wajib dilewati dalam upaya pertumbuhan mental dan meningkatkan kemampuannya. Mereka harus dilatih untuk memaknai kecerdasan, kreatifitas dan inovasi sebagai sesuatu yang musti terus dikembangkan (grow), bukan semata pemberian absolut, bawaan lahir.
Ketiga, membekali mereka bukan sekadar dengan ijazah pendidikan formal. Namun juga yang lebih penting ialah pendidikan nilai-nilai hidup dari orang tua. Misalnya; iman, etos kerja keras, kejujuran (amanah), memperlakukan orang lain dengan baik, empati, bangkit dari kegagalan.
Keempat, bersosialisasi. Jangan sampai anak tenggelam dalam aktifitas pribadi; main hape, belajar seharian penuh, nonton TV. Sejak kecil anak musti berinteraksi, belajar berkomunikasi, bekerjasama, termasuk merasakan konflik (dan penyelesaiannya). Dengan demikian mereka sepenuhnya sadar hidup sebagai makhluk sosial, bukan tipikal manusia introvert-tempramen.