Penulis: Muchamad Nadzirummubin*
Bulan lalu kami berkesempatan berkunjung ke Maluku untuk pertama kalinya. Selama sepekan di sana dalam agenda menindaklanjuti pelaksanaan program dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi bersama NGO Kemitraan.
Biar terkesan lebih afdal, seperti umumnya para pelancong, tiap kali berinteraksi dengan masyarakat setempat tak luput kami selalu mengajukan pertanyaan soal kekhasan atau kekhususan dari Maluku.
Mulai dari makanan yang wajib dicicipi, rekomendasi wisata alam maupun situs sejarah-kebudayaan yang ikonik, karakteristik demografi masyarakat lokal hingga beragam cerita aspiratif mengenai potensi-potensi Maluku yang seharusnya bisa lebih dioptimalkan oleh pemerintah daerah.
Meski awam, hamparan laut biru di sepanjang jalan dari bandar udara Pattimura kota Ambon menuju pelabuhan Tulehu sedikit cukup menggambarkan bahwa potensi daerah (Provinsi) yang dikenal dengan seribu pulau ini kemungkinan tidak jauh dari bidang ekonomi biru. Pun diperkuat oleh informasi kalau ikan kuah kuning yang disantap dengan Papeda merupakan salah satu menu andalan bagi orang Maluku.
Secara geografis wilayah Maluku didominasi oleh lautan yang mencapai sekitar 92,4 persen. Maluku juga terletak di wilayah segitiga daerah penangkapan ikan (golden triangle fishing ground) yaitu laut Banda, laut Arafura dan laut Seram.
Maka tak heran jika sebagian besar masyarakat Maluku menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut atau berprofesi sebagai nelayan. Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2023, mayoritas masyarakat Maluku bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan yaitu sebesar 31,60 persen (BPS, 2023).
Bahkan data tahun 2022 menyebutkan bahwa Maluku termasuk lima besar daerah dengan jumlah nelayan perikanan tangkap di laut yang mencapai 157.550 jiwa (KKP, 2024). Tingginya persentase serapan tenaga kerja di sub-sektor perikanan berbanding lurus dengan kontribusi pembentukan PDRB Maluku tahun 2023 yang mencapai sekitar 13,76 persen. Maka dari itu, perikanan merupakan sektor strategis yang selama ini menjadi penopang perekonomian Maluku.
Melihat besarnya potensi perikanan yang dimiliki Maluku, pemerintah pusat di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana menjadikan Maluku sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN), namun hingga saat ini di periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang sebentar lagi akan berakhir, gagasan tersebut tak kunjung terealisasi. Bahkan kabarnya gagal atau dibatalkan karena alasan tertentu.
Padahal pemerintah daerah dan masyarakat begitu antusias hal itu bisa terwujud mengingat pembangunan LIN diharapkan dapat mengakselerasi pertumbuhan industri perikanan, mengembangkan perekonomian daerah serta meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat dan nelayan. Hal ini menjadi penting, lantaran perairan di Maluku selama ini dimonopoli oleh korporasi besar yang terkonsentrasi di Pulau Jawa (Harian Kompas, 21/8/2023).
Baca Juga: Pekan Inovasi Sosial; Festival Karang Taruna DIY
Sehingga manfaat ekonomi nyaris tak dinikmati oleh daerah, terlebih kondisi masyarakat Maluku tetap miskin di tengah kekayaan sumber daya perikanan seakan menjadi potret nyata dari peribahasa “itik berenang di telaga mati kehausaan”.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Provinsi Maluku tahun 2023 sebesar 16,42 persen, jauh di bawah rata-rata tingkat kemiskinan nasional yaitu sebesar 9,36 persen dan Maluku menempati urutan ke empat sebagai Provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia setelah Papua, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Menyikapi fenomena tersebut, sudah saatnya pemerintah daerah mengambil peranan yang lebih besar dalam upaya mengoptimalkan pengelelolaan kekayaan sumber daya perikanan. Tanpa harus menunggu dan bergantung pada pemerintah pusat, kiranya pemerintah daerah perlu membangun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bergerak di bidang industri perikanan dan kelautan atau melalui hubungan kerjasama dengan pihak swasta.
Dengan begitu, diharapkan tercipta efek pengganda (multiplier effect) positif diantaranya menyerap tenaga kerja terampil dari masyarakat lokal dan nelayan kecil mendapat kepastian penghasilan dari hasil tangkapan yang terserap.
Namun itu saja belum cukup, penguatan kapasitas dan kapabilitas sumber daya manusia juga harus diperhatikan, khususnya bagi kelompok rentan dan marginal (miskin, lansia, disabilitas, perempuan, masyarakat adat) yang selama ini cenderung diabaikan dalam setiap proses pengambilan kebijakan, karena cara pandang sempit yang memposisikan mereka hanya sebatas obyek pasif.
Akibatnya produk kebijakan yang dihasilkan bercorak eksklusi yang membuat pembangunan di level desa sekalipun, semakin mengisolasi kelompok rentan dan marginal untuk memperoleh hak atas kepentingannya. Tentu hal ini bertolak belakang dengan semangat Undang-Undang Desa yang memandatkan pembangunan yang inklusi dan berkelanjutan untuk semua tanpa terkecuali (no one life behind).
Upaya mendobrak dan mengakhiri tata kelola pembangunan desa yang berwatak kolonial (serba teknokratik, birokratik, formalistik dan hegemonik) yang meniadakan ruang dialektis bagi masyarakat dan melahirkan partisipasi semu perlahan mulai terkikis sejak hadirnya program Penguatan Pemerintahan dan Pembangunan Desa (sub komponen 2B) oleh Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Seperti di negeri (nama lain dari desa) Hitumesing, salah satu dari delapan desa di kabupaten Maluku Tengah yang menjadi pilot dari perwujudan desa inklusi dan akuntabilitas sosial. Melalui media pembelajaran sekolah lapang, kelompok rentan dan marginal di negeri Hitumesing memperoleh pemahaman tentang konsep dan nilai-nilai inklusi serta membangun kesadaran kolektif akan pentingnya partisipasi atau keikutsertaan mereka dalam mengawal proses berjalannya pembangunan di desa. Peserta sekolah lapang sendiri terdiri dari unsur pemerintah desa, Badan Permusyawaratan Desa dan kader desa inklusi.
Dari segi pemberdayaan, Kemitraan bersama NGO lokal melakukan penggalian potensi dan persoalan yang diterjadi di masyarakat dari hasil survei yang dilakukan (base-line). Data tersebut kemudian menjadi salah satu sumber acuan dalam melaksanakan sekolah lapang berbasis tematik.
Adapun terdapat dua sekolah lapang tematik yang dilaksanakan di negeri Hitumesing, mengambil topik yang berkelindan dengan daerah Maluku yaitu soal perikanan. Pertama, soal mesin motor tempel yang digunakan di perahu nelayan. Kedua, pengelolaan produk perikanan untuk kelompok perempuan kepala keluarga.
Sehingga selain bertujuan meningkatkan produktivitas kelompok rentan dan marginal dan mewujudkan pembangunan desa yang inklusi dan berkeadilan. Paling tidak praktik baik di negeri Hitumesing ini dapat direplikasi di desa lain dengan harapan dapat menjadi alternatif solusi dalam menjawab persoalan dan memajukan daerah Maluku.
Danke Maluku!
*****
*Muchamad Nadzirummubin – Pegiat Desa, Bekerja di Kemitraan