Penulis: Luthfi Hamdani
Prosesi akad nikah adalah salah satu momen terpenting dalam hidup. Proses ijab dan qabul yang hanya lima sampai sepuluh menit punya muatan yang begitu besar; jadi tanda penyatuan sepasang insan seumur hidup, jadi tanda keduanya telah sah untuk mengambil kenikmatan biologis sesuai kaidah syariat (terhindar dari zina), hingga menjaga keberlangsungan hidup umat manusia.
Besarnya nilai komitmen serta konsekuensi keagamaan, moral, biologis, dan sosial dari pernikahan membuat seluruh rangkaian akad nikah tidak boleh dijalani dengan asal-asalan. Mulai proses persiapan, cek data calon pengantin, khotbah nikah, ijab dan qabul, hingga doa-doa penutup harus hadir bukan sekadar di mulut, namun juga jauh di dalam hati (atau pikiran).
Konsep kesadaran penuh ini begitu dekat dengan kita, ada pada terminologi khusyuk. Inti dari khusyuk adalah: Hadirnya hati (atau pikiran) dan berdampak pada tenangnya seluruh anggota badan. Maka orang khusyuk (dalam sholat) sadar bahwa mereka sedang berhadapan langsung dengan Tuhan, jadi tenang dalam semua rangkaian gerakan shalat, fokus pandangan pada titik sujud, menyelami makna kata-perkata ayat al-Qur’an maupun doa-doa yang dibaca.
Konsep khusyuk ini mirip-mirip dengan istilah popular saat ini; mindfulness. Christopher Willard (2016) dalam buku ‘Growing up Mindful’ mendefinisikannya yaitu: “Memberikan perhatian (penuh) pada momen yang tengah dijalani (present) dan menerimanya tanpa penghakiman”.
Kesadaran penuh konsekuensi dari akad nikah adalah perjanjian agung kepada Tuhan serta pasangan kita. Bahwa kita sudah sepenuh hati siap atas hak dan kewajiban sebagai suami atau istri. Berjanji saling berkasih sayang layaknya Adam dan Hawa, Ibrahim dan Sarah, Yusuf dan Zulaikha, serta Nabi Muhammad dengan Khadijah.
Semua dimanifestasikan mulai dari hal-hal paling sederhana dan rutin dalam keluarga; bekerja, tidur, bertutur kata, makan, minum, bebersih rumah, memberi perhatian, merawat anak, mendoakan hingga kelak tua, lemah fisik dan meninggal.
Menikah adalah pilihan mulia, dan akan jauh lebih berkah jika mulai ijab-qabul kata demi kata dihayati penuh kesadaran dari hati (atau pikiran), bukan hanya lisan. Begitu juga semua momen setelahnya.