Kita semua tahu, penyebaran virus corona ini beradu cepat dengan penyebaran informasi tentangnya. Semua pihak yang pro maupun kontra secara konsisten berupaya menimpali, menyanggah bahkan mendiskreditkan informasi dari lawannya.
Secara sederhana, perkembangan pandemi beriring integral dengan infodemi. Satu fenomena persebaran informasi yang demikian deras dan cenderung semakin sulit dikontrol.
Sementara itu, sikap dan perilaku kita dibentuk oleh beragam faktor. Dalam kajian Perilaku Konsumen, perilaku kita sebagai individu konsumen dipengaruhi oleh berbagai sebab, misalnya: faktor kebudayaan, faktor sosial, faktor pribadi sampai faktor psikologis.
Secara lebih spesifik, misalnya dari aspek psikologis, kita mengkonsumsi informasi promosi dari beragam perusahaan untuk selanjutnya memutuskan membeli ataupun memakai jasa yang mereka tawarkan.
Menurut Tjiptono (2008) promosi adalah suatu bentuk komunikasi pemasaran yang mana komunikasi pemasaran adalah aktivitas pemasaran yang berusaha menyebarkan informasi, mempengaruhi dan mengingatkan pasar sasaran atas perusahaan dan produknya agar bersedia menerima, membeli dan loyal pada produk yang ditawarkan perusahaan yang bersangkutan.
Sampai sini bisa kita pahami bahwa media apapun itu adalah pelaku industri dan kitalah konsumen dari produknya – berupa informasi dan iklan.
Respon masyarakat kita kepada pandemi ini sangat beragam. Masing-masing kita bersikap bahkan bertindak berdasar persepsi yang terbangun dari informasi yang disebar oleh begitu banyak pihak.
Darimana persepsi kita muncul? Peran media amatlah besar dalam hal ini, termasuk di dalamnya adalah koran, majalah, iklan, berita-berita di internet serta opini-opini hingga desas-desus yang dipublikasikan di blog pribadi maupun jejaring sosial media.
Jauh sebelum pandemi ini hadir, proses digitalisasi telah merebak ke hampir semua sudut kehidupan. Sejak itu pula cara pandang kita atas dunia, perilaku serta selera kita selain dibangun oleh media-media modern berukuran raksasa, kini juga dibentuk media-media mikro sampai influencer sosial dan sejenis mereka.
Kuatnya peran media bisa dijabarakan sebagai berikut: Ketika media menyebarkan berita, bahwa orang kulit putih lebih baik dari kulit hitam, maka kita pun lebih suka pada laki-laki atau perempuan berikulit putih, daripada mereka yang berkulit hitam. Ketika media menyebarkan informasi, bahwa Eropa itu indah, maka orang berbondong-bondong berwisata ke Eropa, walaupun dengan biaya yang tidak masuk akal.
Baca juga: Kita Menghadapi Kematian
Ketika media menyebarkan berita, bahwa pendidikan di Amerika Serikat adalah yang terbaik di dunia, maka orang berbondong-bondong sekolah disana, juga dengan biaya yang amat tinggi. Jadi, apa kata media, hampir pasti itulah yang menjadi selera kita, dan akhirnya menuntun hampir semua tindakan kita.
Misinformasi dan infodemi ini diperparah dengan realitas bahwa kita hidup di era post-truth. Oxford Dictionary mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal. Sederhananya, post truth adalah era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya dengan memainkan emosi dan perasaan kita.
Kita lalu mempercayai informasi berdasar selera masing-masing kita.
Di Instagram dan twitter, saya mengikuti (follow) akun resmi kementerian Kesehatan, WHO, Kemenkominfo, Lawan Covid, dan juga akun beberapa dokter. Namun selain itu, saya mengikuti juga informasi yang ‘diedarkan’ oleh akun-akun yang ‘menolak percaya’ keberadaan covid-19, seperti yang paling fenomenal @teluur. Atau beberapa dari mereka mengklaim percaya covid-19 namun menentang tindakan dan regulasi yang diambil oleh pemerintah dan dijalankan oleh aparaturnya.
Sebagai orang yang percaya keberadaan dan dampak pandemi covid-19, saya mengamati dan menikmati bagaimana fenomena misinformasi dan infodemi ini berkembang. Media sosial dan media-media berita digital punya peran jauh lebih besar saat ini dibandingkan media-media tradisional-konvensional kaitannya dengan misinformasi ini.
Berdasar data yang diungkapkan sebuah survei nasional yang dilaksanakan pada tahun 2020, bahwa antara 64 hingga 79 persen responden tidak dapat mengenali misinformasi di dunia maya.
Mayoritas responden di dalam survei yang dilaksanakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center (KIC) ini juga menyatakan media sosial sebagai sumber informasi mereka yang utama. (unicef.org/Indonesia, 2021)
Dengan memahami perkembangan fenomena misinformasi dan infodemi ini, harapannya kita semua jadi punya kesadaran, kehati-hatian dan bijak saat mengkonsumsi atau bahkan menyebarkan informasi.
Banyak pendapat menyatakan bahwa media tidaklah pernah netral. Media selalu merupakan corong dari kepentingan pihak tertentu.
Lebih lanjut, sikap kritis pada media pun mutlak harus ada dalam diri kita. Informasi-informasi dari berbagai media (baik besar maupun kecil) juga harus dilihat sebagai salah, sampai terbukti sebaliknya. Fakta harus dilihat sebagai pendapat yang perlu untuk dilihat dengan kaca mata kritis.
Hanya dengan begini, kita bisa lolos dari penipuan media yang mengacaukan persepsi serta selera kita. Sehingga dalam konteks ini, kebenaran adalah hasil dari falsifikasi. Ia bukanlah hasil dari afirmasi buta atas apa yang tertulis dan terdengar. Hasil dari falsifikasi berarti kebenaran itu telah lolos dari uji coba pencarian hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran itu. (Wattimena, 125;2016)
Kritis, kritis, kritis!
Sialnya, untuk mampu kritis kita harus banyak berlatih membaca sebanyak mungkin referensi, terbiasa mengajukan beragam pertanyaan dan menstimulasi pikiran dengan beragam potensi jawaban atau kemungkinan, terbiasa berdialog dengan banyak pandangan/paham/pemikiran yang berbeda.
Tapi jika proses-proses di atas belum sepenuhnya bisa kita kerjakan, setidaknya prinsip utama jangan sampai ditinggalkan: jangan menelan informasi mentah-mentah.
______________________________
Penulis: Luthfi Hamdani