Penulis: Luthfi Hamdani
Rabu sore kemarin (22/7), saya iseng melakukan interview sederhana ke adik tingkat ketika kuliah di Malang, tentang proses rekrutmen kerjanya yang terdampak pandemi covid-19. Dia berusia 23 dan baru lulus Desember lalu. Tepat pasca lulus, dia langsung proaktif mengirim lamaran kerja hingga ke lebih dari 40 perusahaan, mulai lokal kota Malang sampai perusahaan berskala nasional. Semula dia apply memakai Surat Keterangan Lulus (SKL), selanjutnya baru melampirkan berkas ijazah yang ia terima tanpa wisuda sejak bulan April.
Mayoritas lamaran yang ia kirim tidak berbalas, namun ia sempat mendatangi beberapa interview kerja, yang kemudian tidak ada follow-up lagi. Namun setelah interview dan lolos, ada satu perusahaan ritel nasional yang memanggilnya untuk mulai training di Jakarta, namun karena ‘ribet’ mengurus SIKM dan segala persyaratan kesehatan, juga melihat situasi pandemi yang belum membaik, akhirnya ia batalkan dulu berangkat ke ibukota setelah konsultasi dengan orangtuanya. Guna mengisi kegiatan sejak Desember hingga kemarin saya interview, dia memilih memulai berdagang online, melakukan kegiatan sosial di lingkungan rumah dan pesantrennya dulu.
Kemarin juga saya memohon informasi di grup Whatsapp yang berisi teman-teman seangkatan. Saya tanya “siapa yang punya kenalan ‘korban’ PHK/dirumahkan sebab covid-19?”. Tanpa saya duga, tiga teman anggota grup menyatakan bahwa mereka sendiri yang jadi ‘korban’. Satu orang mengaku dipindah ke kantor di provinsi yang berbeda dan harus memulai dari posisi ‘bawah’, yang secara halus ia tafsirkan sebagai upaya perusahaan keuangan tempatnya bekerja agar ia ‘resign’ dengan sendirinya. Dua orang lagi mengaku dirumahkan dari tempat mereka bekerja. Sementara seorang teman yang menjadi anggota sebuah grup musik dan biasa secara rutin mengisi acara live music di kafe dan kedai kopi di kota Malang mengaku sepi job, atau hampir tidak ada.
Berita tentang fresh-graduate (mayoritas generasi Z) yang kesulitan masuk ke dunia kerja atau pekerja milenial yang jadi ‘korban’ PHK sebab pandemi covid-19 mungkin sudah jamak kita dengar. Guna komparasi, kemarin saya membaca reportase Aulia Adam di Tirto.id berjudul “Nasib Kami yang di-PHK karena Corona” (16/4), juga artikel dari Ramadani Saputra di media The Jakarta Post berjudul “Millennials Stay Resilient in Difficult Times” (11/7).
Tulisan dari keduanya dan catatan saya kali ini mengusung pola yang sama, yaitu: menarasikan kisah dari orang-per orang yang jadi bagian dari data berjumlah ratusan ribu orang korban dari efek samping pandemi covid-19 pada sektor ekonomi dan bisnis. Upaya menceritakan satu dua kisah dari ratusan ribu bahkan jutaan orang akan selalu menarik, selain dapat ‘insight’ yang lebih tajam, saya percaya bahwa data adalah sesuatu yang ‘mati’ atau cepat berubah, namun cerita dan kisah akan hidup selamanya.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan yang dirilis 11 April, lebih dari 1,5 juta orang Indonesia telah kehilangan pekerjaan karena imbas pandemi COVID-19. Sebanyak 10,6 persen di antaranya atau sekira 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK, sedangkan 89,4 persen lainnya karena dirumahkan. Jumlah pekerja yang di-PHK sebanyak 160.067 pekerja dari 24.225 perusahaan. Sedangkan yang dirumahkan sebanyak 1.080.765 pekerja dari 27.340 perusahaan.
Di tengah penyebaran virus corona, generasi milenial (lahir antara Januari 1980 sampai Desember 1994) dan Generasi Z (lahir antara Januari 1995 sampai Desember 2003) dalam banyak artikel diketahui memiliki risiko rendah untuk tertular. Sementara media CNBC (29/2) mengutip dari CDC China menunjukkan temuan bahwa korban terinfeksi yang memiliki risiko kematian tertinggi adalah yang berusia di atas 80 tahun. Data yang dikumpulkan dari 44.000 pasien terinfeksi menunjukkan bahwa semakin muda usia pasien atau pengidap virus, maka semakin rendah pula rasio risiko kematian yang dihadapi.
Data ini tentu cukup melegakan bagi kelompok usia milenial dan Gen-Z, sampai kadang mereka ‘terkesan’ meremehkan protokol kesehatan ketika melakukan aktifitas di luar rumah. Pesan via SMS Blast yang dikirim kemarin (22/7) ke handphone saya (pukul 07.40) oleh Gugus Tugas COVID-19 juga bertuliskan: “Tidak peduli menjaga jarak dengan orang lain di luar rumah? Pikir-pikir, keluarga di rumah akan sengsara akibat Anda yang tidak bertanggung jawab.” Saya tidak tahu apa gugus tugas covid mengirim SMS tersebut menyesuaikan usia penerimanya, atau random begitu ke semua kategori usia. Tapi pesannya memang cukup akurat melihat perilaku generasi muda di tengah covid-19.
Risiko kesehatan yang dihadapi milenial dan Gen-Z dari COVID-19 mungkin cukup rendah (namun tentu kita tidak pernah tahu seberapa parah gejala klinis yang dialami jika tertular, maka mending ikuti protocol kesehatan dengan baik agar tidak tertular). Tapi efek samping dari wabah COVID-19 secara ekonomi, bisnis dan sosial tidak bisa mereka (kita) hindari. Data dan cerita di atas menunjukkan rumitnya situasi yang musti bersama kita hadapi.
Dalam survey milenial yang dirilis oleh Deloitte (06/2020) berjudul “The Deloitte Global Millennial Survey 2020: Resilient Generations Hold the Key to Creating a Better Normal” menemukan bahwa sebelum hingga selama pandemi, milenial dan Gen-Z tampak telah mengalami stres atau kecemasan sebab memikirkan tentang kesejahteraan keluarga, masa depan keuangan jangka panjang dan prospek karier mereka. Selanjutnya penyebab stres dari kedua generasi tadi adalah keuangan harian (day to day finance), kesehatan fisik, iklim sosial-politik, keselamatan pribadi, ketidakmampuan untuk menjadi diri sendiri yang otentik, pemanasan global dan penggunaan media sosial.
Namun dari survey tahap kedua yang dilakukan dalam rentang waktu 28 April sampai 17 Mei, Deloitte menemukan bahwa tingkat stres milenial dan Gen-Z malah menurun ketika pandemi berlangsung dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya (survey tahap pertama) sebelum pandemi terjadi. Memiliki lebih banyak waktu dengan keluarga dan berkurangnya momen terjebak dalam kemacetan lalu lintas sebagai akibat dari kebijakan kerja dari rumah (WFH) telah mengakibatkan penurunan tingkat stres yang dialami oleh generasi millenial dan Generasi Z. (Catatan dari saya: Hal ini sebab mayoritas responden dari suvey Deloitte masih tetap bekerja namun dengan pengurangan pengeluaran sebab mau tidak mau perusahaan tempat mereke bekerjda dan mereka sebagai pribadi tengah terdampak pandemi.)
Para peneliti Deloitte mengutip kalimat dari Matt Haig, novelis Inggris tentang bagaimana fenomena penerimaan terhadap kondisi krisis juga penuruna stres yang kita hadapi selama pandemi sebagai:
“Yes, lockdown poses its own mental health challenges. But can we please stop pretending our former world of working long hours, stressful commutes, hectic crowds, shopping centres, infinite choice, mass consumerism, air pollution and 24/7 everything was a mental health utopia?“
Namun, dari survey tadi juga diketahui bahwa pandemi ini membuat milenial dan Gen-Z lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangan. Dalam survey itu, selema pandemi tampak ada dorongan untuk meningkatkan kehati-hatian finansial, perilaku tersebut kemungkinan didorong oleh perasaan bahwa keuangan pribadi mereka bisa dengan mudah dan cepat ‘ambyar’ begitu saja sebab krisis. Banyak milenial dan Gen-Z terpaksa bersikap bijaksana soal keuangan karena mereka tidak punya cukup uang, dan didorong oleh pengalaman bahwa kebijaksanaan keuangan (financial judiciousness) telah menguntungkan mereka selama masa krisis COVID-19.
Secara umum, survey Deloitte menunjukkan bahwa milenial dan Gen-Z adalah generasi yang resilien (tahan banting dan mampu adaptif) terhadap situasi krisis yang mereka hadapi. Dari survey Deloitte tadi, kita juga mengetahui bahwa milenial dan Gen-Z adalah generasi yang cukup visioner. Ketika ditanya tentang topik yang menjadi perhatian utama kedua generasi, mereka mayoritas menjawab beberapa topik serius, yaitu: perubahan iklim (upaya melindungi lingkungan hidup), kesehatan (upaya pencegahan wabah), pengangguran, ketimpangan pendapatan atau distribusi kekayaan yang tidak merata, kriminalitas atau keamanan personal, dan terakhir kekerasan serta pelecehan seksual.
Dalam kaitannya dengan isu atau topik penurunan kualitas lingkungan hidup, milenial dan Gen-Z tampak memiliki inisiatif untuk melakukan aksi nyata dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa gaya hidup atau rutinitas milenial dan Gen-Z yang berkaitan dengan upaya mereka memperbaiki kualitas lingkungan hidup misalnya: memulai atau meningkatkan kebiasaan melakukan daur ulang (recycle), mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, meningkatkan penggunaan transportasi umum, bersepeda atau jalan kaki. Selanjutnya dengan meningkatkan pembelian pangan lokal dan oraganik, mengedukasi diri tentang dampak lingkungan dari merek pakaian dan produk teknologi yang mereka pakai dan terakhir terlibat dalam gerakan, aktivisme serta protes berkaitan dengan lingkungan hidup.
Selanjutnya, bagi sebagaian besar generasi milenial dan Gen Z, pandemi telah memperkuat keinginan mereka untuk membantu mendorong perubahan sosial positif di komunitas mereka. Banyak anggota dari kedua generasi ini telah menganggap diri mereka telah menemukan dan didorong oleh tujuan baik dalam hidup. Sekitar tiga perempat dari responden survei berkata bahwa pandemi telah menampakkan berbagai masalah baru bagi mereka dan membuat mereka lebih simpatik terhadap kebutuhan orang lain di komunitas lokal mereka serta seluruh dunia. Proporsi responden yang sama juga mengatakan bahwa pandemi telah mengilhami mereka untuk mengambil tindakan positif berupa memperbaiki kehidupan mereka sendiri. Dan hampir tiga perempatnya menyatakan bahwa setelah pembatasan sosial dicabut atau pandemi berakhir, mereka akan mengambil tindakan yang memiliki dampak positif pada komunitas mereka.
Sementara itu, Alexander Morgan menulis artikel di media Euronews.com berjudul “What Future Will Millennials Have After Covid-19?”. Dalam tulisannya, Morgan menyoroti banyak pekerjaan telah menghilang sebab pandemi. Morgan juga mencatat bahwa bagi generasi milenial, 2020 ini akan menjadi krisis keuangan global kedua bagi mereka hanya dalam 12 tahun, setelah sebelumnya krisis tahun finansial tahun 2007-2008. Kondisi yang menurutnya cukup mengejutkan ketika mereka tengah berusaha membuat langkah pertama pada tangga karier dan kepemilikan property mereka.
Morgan lalu mengutip pernyataan ekonom Grace Blakeley (26) yang menyatakan jika janji-janji bahwa Anda (generasi milenial dan Gen-Z) akan selalu menerima kenaikan upah secara konstan, ekonomi akan terus tumbuh, Anda akan bisa membeli rumah dan Anda akan lebih baik daripada generasi orang tua Anda, ternyata–
“Semuanya (janji dan asumsi tadi) terbukti telah terputus oleh krisis,” ujar Blakeley.
Pada intinya, sebab pandemi COVID-19 ini, Morgan mengajak kita untuk menelaah ulang sistem ekonomi kapitalistik yang selama ini masih dipakai, sistem yang telah terbukti berkali-kali gagal menghindarkan dunia dari krisis atau resesi, termasuk tahun 2007-2008 – terutama aspek yang perlu dikaji adalah sistem keuangan dan ketimpangan pendapatan yang semakin signifikan antara kelompok kaya dan miskin.
Pandemi COVID-19 kali ini akan jadi momentum sejauh mana kita generasi milenial dan generasi Z mampu bertahan serta keluar dari krisis dengan berbagai solusi dan berbagai cara pandang, serta perilaku yang jauh berbeda dari masa sebelum pandami. Perubahan dan solusi dalam segala aspek, mulai karir, kepedulian sosial, perhatian pada lingkungan hidup, mengelola stres, bijak dalam mengelola keuangan dan sebagainya.
Pelajaran apa yang sudah kalian dapatkan dari pandemi COVID-19 ini?
Comments 1