Konsumen Hijau dan Peranannya
Sejak tahun 1980-an gerakan konsumen hijau bukannya semakin mengecil, tetapi bahkan saat ini ada satu hari yang didedikasikan sebagai Hari Konsumen Hijau (Green Consumer Day) yang setiap tahunnya jatuh pada tanggal 28 September. Tahun 2015 misalnya, peringatan hari konsumen hijau berfokus pada membangun kesadaran konsumen untuk dapat mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang. Gerakan konsumen hijau berarti pemanfaatan preferensi individual untuk mempromosikan barang dan jasa yang lebih ramah lingkungan.
Secara sederhana konsumen hijau adalah konsumen yang hanya mau membeli barang dan jasa yang ramah lingkungan. Jumlah konsumen hijau semakin hari semakin meningkat seiring dengan salah satunya, naiknya kesejahteraan masyarakat.
Ada beberapa ciri barang dan jasa yang diminati konsumen hijau:
- Tidak membahayakan kesehatan manusia dan binatang.
- Tidak merusak lingkungan mulai saat diproduksi, digunakan, dan dibuang setelah aus.
- Tidak boros energi dan sumber daya lainnya saat dibuat, digunakan atau saat dibuang setelah aus.
- Tidak menghasilkan banyak limbah akibat kemasan yang berlebihan atau karena umur ekonomis yang pendek.
- Tidak mengakibatkan kekejaman pada binatang.
- Tidak mempergunakan bahan baku yang berasal dari spesies langka.
Survei yang dilakukan McKinsey & Company tahun 2007 menunjukkan dari 7.751 responden di 8 (delapan) negara: Brazil, Canada, Tiongkok, Prancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat, 87% memberikan perhatian pada dampak produk yang mereka beli pada lingkungan hidup dan sosial/masyarakat (Bonini dan Oppenheim, 2008). Laporan yang sama mengatakan bahwa jumlah yang benar-benar melakukan pembelian memang hanya sebesar 33%, namun potensinya makin hari makin membesar.
Hasil penelitian antara tahun 2010-2013 tentang makin membesarnya perhatian konsumen terhadap lingkungan hidup dirangkumkan oleh Solar City dan Clean Edge (tanpa tahun). Data di bawah menunjukkan proporsi perhatian konsumen hijau terkait isu-isu lingkungan hidup.
- If I learned that a company was making a great effort to adopt ervironmentally conscious practices, I would be more likely to purchase that company’s products or services. [75% Agree]
- I am Interestod In learning what companies are doing in term of sustainability and “going green”. [72%, agree]
- | often see, read, or hear information about companies “going green” In the media I typically rely on for news (e.g., newspapers, magazines, blogs, TV/radio newscast, etc). [60% agree]
- I feel well-informed about current sustainability and environment-related issues in general. [57% agree]
- Thee media are more likely to report on “bad news” than “Good news” when covering how companies ane addressing efforts to “go green”. [75% agree]
Makin meningkatnya jumlah konsumen hijau direspons oleh bisnis dan ilmu manajemen pemasaran. Contoh respons bisnis untuk menjadi lebih ramah lingkungan di antaranya adalah:
- Johnson & Johnson dengan menghemat kemasan kertas.
- McDonald’s dengan mengganti kemasan polystyrene dengan kemasan kertas.
- Industri aerosol dengan tidak mempergunakan CFC.
- The Body Shop yang tidak menggunakan binatang percobaan untuk pengembangan produk.
Sementara ilmu manajemen pemasaran merespons dengan salah satunya berkembangnya Manajemen Pemasaran Hijau atau Green Marketing.
Dalam pembahasan alternatif keunggulan kompetitif terkait lingkungan hidup, green marketing terletak pada kuadran di mana perusahaan berusaha memaksimalkan keunggulan kompetitifnya dengan cara memperbaiki kinerja produk. Kuadran ini ditandai dengan maraknya green consumerism atau gerakan konsumen hijau. Tanpa gerakan konsumen hijau, green marketing tidak akan berkembang sepesat saat ini.
Sejarah dan Latar Belakang Green Marketing
Terminologi green marketing pertama kali didiskusikan dalam seminar tentang ecological marketing yang diselenggarakan oleh American Marketing Association pada tahun 1975 (Boztepe, 2012). Green marketing berakar pada ilmu etika pemasaran. Menurut Murphy, dkk. (2007) pusat dari etika pemasaran adalah pada perspektif dasar penempatan manusia sebagai pusat atau disebut sebagai antroposentrisme.
Dengan perkataan lain sesuai dengan kodratnya sebagai bisnis, lingkungan hidup masih dianggap sebagai alat atau instrumen untuk menyejahterakan manusia sebagai pusat perhatiannya. Hal ini berbeda dengan biosentrisme yang menganggap lingkungan hidup sebagai pusat.
Atau bisa dijelaskan bahawa manusia sebagai pusat dalam etika pemasaran adalah manusia yang termasuk ke dalam shallow ecologist atau manusia dengan kepedulian lingkungan yang dangkal. Sementara manusia dalam konsep biosentrisme dapat dikategorikan sebagai deep ecologist. Perbedaan shallow dan deep ecologist dapat dilihat pada contoh pendaki gunung dan bunga anggrek.
Shallow ecologist mengatakan agar kita tidak memetik bunga anggrek saat kita mendaki gunung dengan alasan agar manusia lain dapat menikmati keindahan bunga anggrek. Sementara deep ecologist tidak memetik bunga anggrek yang sama dengan alasan bunga anggrek juga memiliki hak hidup yang sama dengan manusia.
Etika pemasaran dengan manusia shallow ecologist sebagai pusatnya kemudian menjadi dasar berkembangnya societal marketing, green marketing, dan environmental marketing.
Definisi Green Marketing
American Marketing Association mendefinisikan green marketing atau pemasaran hijau sebagai:
- Definisi terkait dengan retailing, pemasaran hijau diartikan sebagai pemasaran produk-produk yang dianggap aman untuk lingkungan.
- Definisi terkait dengan pemasaran sosial, pemasaran hijau adalah pengembangan dan pemasaran produk yang didesain sedemikian rupa agar efek negatif pada lingkungan minimal atau agar dapat meningkatkan kualitas lingkungan.
- Definisi terkait dengan lingkungan, pemasaran hijau adalah usaha organisasi untuk memproduksi, mempromosikan, mengemas, dan memperbaiki produk dengan menggunakan cara yang sensitif lingkungan atau responsif terhadap permasalahan lingkungan.
Faktor Pendorong Berkembangnya Green Marketing
Ada beberapa faktor yang mendorong sebuah perusahaan untuk menjadi ramah lingkungan. Berry dan Rondinelli (1998) misalnya membagi faktor pendorong menjadi tekanan yang berasal dari berbagai pihak seperti pemerintah, pelanggan, pekerja, dan persaingan. Sementara Wagner (2007) membaginya menjadi empat faktor pendorong kinerja ekonomis yaitu pasar, image, efisiensi, dan hal yang terkait dengan risiko. Zeng dkk. (2011) membaginya menjadi empat kategori yang berbeda pula yaitu pemerintah, masyarakat, pasar, dan keinginan perusahaan sendiri.
Secara garis besar, menurut Claver, dkk. (2007) perusahaan terdorong menjadi ramah lingkungan, selain karena alasan kinerja lingkungannya itu sendiri, juga karena alasan peningkatan daya saing dan kinerja ekonomi.
Berkaitan dengan pasar, Khana dan Anton (2002) menyatakan bahwa ada kecenderungan konsumen semakin sadar lingkungan dan hal ini berakibat bahwa perusahaan harus makin memperhatikan kinerja lingkungannya. Sementara Illinitch dan Schaltegger (1995) menyatakan bahwa selain preferensi seperti yang diungkap kedua penulis terdahulu, dorongan ramah lingkungan terjadi karena adanya kemungkinan boikot dari konsumen.
Kebijakan pemerintah dapat menjadi pendorong bagi perusahaan menjadi ramah lingkungan karena denda yang dikenakan bagi pelanggar kebijakan dan lamanya proses peradilan bagi pelanggar (lllinitch dan Schaltegger, 1995), selain juga insentif ekonomi yang diberikan pemerintah kepada perusahaan yang ramah lingkungan seperti yang dihasilkan penelitian Zeng, dkk. (2011).
Faktor-faktor yang ada tidak akan berguna banyak jika perusahaan tidak mampu mengintegrasikan manajemen lingkungan dengan fungsi-fungsi manajemen yang lain (Wagner, 2007). Harapannya dengan integrasi ini, perusahaan sampai pada tahapan proaktif, dan bukan sekadar mematuhi aturan dan bersifat reaktif saja.
Pada tahapan proaktif ini perusahaan bisa melakukan integrasi melalui minimalisasi limbah, menciptakan permintaan akan produk atau jasa yang ramah lingkungan, mendesain ulang produk dan proses produksi agar lebih ramah lingkungan, serta menerapkan akuntansi lingkungan secara penuh (Berry dan Rondinelli, 1998) dan tentunya dengan menerapkan green marketing.
Menurut Polonsky dan Rosenberger III (2001) menjadi lebih ramah lingkungan dapat terjadi baik karena dorongan dari luar ataupun dari dalam. Dorongan dari luar dapat berupa:
- Memenuhi permintaan konsumen.
- Sebagai reaksi terhadap langkah pesaing yang menjadi ramah lingkungan.
- Permintaan saluran distribusi atau pemasok untuk mengubah input.
Sementara dorongan dari dalam dapat berupa:
- Alasan biaya.
- Filosofi perusahaan.
Penelitian Hadipuro, dkk. (2014) tentang perusahaan batik menunjukkan bahwa yang paling berperan mendorong perusahaan untuk menjadi ramah lingkungan dibandingkan dengan faktor lain adalah konsumen atau pembeli, khususnya pembeli dari luar negeri.
Levei-Level Green Marketing
Grant (2007) membagi perusahaan yang menerapkan green marketing ke dalam tiga kategori, yang memperlihatkan gradasi perhatiannya kepada lingkungan:
- Perusahaan yang termasuk kategori ini hanya menggunakan perhatian perusahaan kepada lingkungan hidup sebagai usaha untuk mengomunikasikan bahwa merek atau perusahaan peduli kepada lingkungan.
- Selain tujuan komersialisasi sebagai tujuan utama perusahaan, perusahaan yang termasuk kategori ini juga berusaha untuk mencapai tujuan lingkungan hidup seperti pengurangan kertas, energi yang digunakan, dan pengurangan penggunaan air.
- Pada tataran ini perusahaan berusaha untuk mengubah budaya konsumen ke arah yang lebih peduli lingkungan hidup.
Yang harus diperhatikan adalah perusahaan yang melakukan green washing, di mana klaim perusahaan tentang kepedulian lingkungan tidak sesuai dengan kenyataan.
Crane (2000) membagi perusahaan dengan kategori yang berbeda. Menurut Crane berdasarkan orientasi strategisnya perusahaan yang peduli pada lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi:
- Passive greening. Strategi perusahaan yang termasuk kelompok ini adalah bersifat reaktif. Perusahaan tidak benar-benar mencari green market dan juga tidak berusaha untuk memperbaiki kinerja lingkungan dari produk. Perusahaan hanya merespons isu lingkungan hidup hanya karena ada tekanan dari stakeholder kunci seperti pembeli utama, pemerintah, media, atau kelompok penekan lainnya seperti lembaga swadaya masyarakat.
- Muted greening. Perbedaannya dengan kelompok pertama adalah bahwa perusahaan dalam kelompok ini benar-benar berusaha untuk memperbaiki kinerja lingkungan dari produk yang dihasilkan meskipun tanpa ada tekanan dari stakeholder kunci. Kesamaannya adalah bahwa keduanya tidak benar-benar mencari green market.
- Niche greening. Perusahaan hanya memfokuskan diri pada ceruk pasar konsumen hijau yang sempit. Artinya, perusahaan hanya menyasar konsumen yang memiliki preferensi lingkungan hidup yang kuat.
- Collaborative greening. Perusahaan dalam kelompok ini memandang bahwa usaha individual perusahaan untuk memperbaiki kinerja lingkungan tidaklah seefektif jika perusahaan bekerja sama dengan perusahaan lain untuk sama-sama mengembangkan produk, misalnya dengan pemasok, agar kinerja lingkungannya menjadi lebih baik. Kerja sama dapat dilakukan bukan hanya dengan pemasok, tetapi dengan pesaing melalui eco label, kelompok pemerhati lingkungan, atau konsumen.
Masa Depan Green Marketing
Ottman, dkk (2006) menyatakan bahwa green marketing akan semakin berkembang karena makin mahalnya energi, pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan tentunya karena makin meningkatnya jumlah konsumen hijau. Salah satu hal yang menarik yang disampaikan Ottman, dkk. adalah bahwa ke depannya akan semakin berkembang apa yang disebut sebagai dematerialisasi. Perusahaan tidak lagi memasarkan produk tetapi memasarkan jasa.
Philip dengan lampu LED merupakan contoh yang tepat. Jika Philip masih berkutat pada memasarkan produk, maka memasarkan lampu LED merupakan ‘kerugian’ bagi Philip. Umur ekonomis lampu LED menurut klaim Philip bisa mencapai 15 tahun atau sekitar tujuh kali lipat lampu konvensional. Jika semua konsumen beralih ke lampu LED, maka jumlah produksi Philip akan langsung menjadi 1/7-nya.
Contoh dematerialisasi yang lain adalah berkembangnya e-money dan transaksi melalui internet. Dengan e-money dan transaksi melalui internet serta berkembangnya iPod, kita tidak lagi perlu membeli CD untuk mendengarkan lagu, tetapi cukup dengan men-download lagu. Yang dipasarkan bukan lagi CD berisi lagu, tetapi jasa hiburan musik. Hal yang sama juga terjadi dengan televisi kabel. Kita tidak perlu lagi membeli DVD film tetapi untuk melihat film kita cukup berlangganan televisi kabel.
Electrolux bahkan telah mengembangkan lisensi produk Electrolux melalui cara pembayaran ‘pay per wash’ melalui koneksi internet. Jadi jika kita akan mencuci, mesin cuci yang terkoneksi internet akan dapat digunakan setelah kita menggunakan transaksi internet dengan e-money kita.
Berkembangnya industri jasa sharing atau berbagi selain lisensi, seperti sharing mesin cuci di negara maju dan sharing kendaraan yang kemudian berkembang menjadi bisnis sewa kendaraan dengan menggunakan mobile application adalah contoh yang lain. Pengguna jasa Gojek dan Grab misalnya tidak perlu lagi membeli motor atau mobil, tetapi membeli jasa memindahkan orang atau barang.
Comments 1