Penulis: Luthfi Hamdani
Gegap gempita dilangsungkannya kongres PMII ke-20 memenuhi informasi di smartphone saya. Mulai dari Whatsapp, Instagram, Youtube hingga beberapa link media online. Sebagai alumni dari organisasi yang identik dengan warna biru dan kuning ini, situasi ini tentu biasa. Kontestasi kepemimpinan dalam tubuh PMII selalu menarik, mulai level rayon hingga Pengurus Besar. Pergantian kepemimpinan ini juga bagian tidak terpisahkan dalam keberlangsungan PMII sebagai organisasi kaderisasi.
PMII merupakan salah satu organisasi kemahasiswaan terbesar di Indonesia. Memiliki memiliki 230 cabang dan 24 Koordinator Cabang di seluruh Indonesia dan mengisi ruang aktifisme mahasiswa hampir di seluruh kampus di Indonesia. Dari data kuantitatif ini menunjukkan bahwa PMII memiliki modalitas besar untuk berkontribusi bagi masyarakat Indonesia.
Salah satu isu strategis yang sering menjadi fokus hampir dalam seluruh kepengurusan PMII adalah radikalisme dan terorisme. Dimana dalam beberapa periode waktu terakhir, masih terus kita jumpai organisasi maupun individu yang melakukan upaya-upaya guna mengubah ideologi Pancasila serta sistem demokrasi Pancasila dengan ideologi versi mereka sendiri, termasuk islam.
Komitmen PMII pada ahlusunnah wal jamaah sebagai metode berfikir dan membangun gerakan, serta komitmen pada ke-Indonesiaan kader-kader PMII tidak perlu diragukan lagi. Dua komitmen ini yang menjadi bekal bagi kader-kader PMII secara sistematis terus mengenalkan islam yang ramah pun melakukan “serangan balik” pada wacana dan gerakan anti NKRI-Pancasila.
PMII dan Kewirausahaan Sosial
Pandemi Covid-19 yang sudah lebih dari setahun hadir di Indonesia menghantam berbagai segi kehidupan masyarakat. Dua aspek yang paling parah tentu dari sisi kesehatan masyarakat dan ekonomi. Tepat pada saat kongres PMII dibuka (17/3), kasus positif covid-19 sudah menembus angka 1,43 juta dengan 38.753 korban meninggal dunia. Meskipun harapan tentu terus terpupuk dengan tren penurunan jumlah kasus dan program vaksinasi nasional.
Sementara dari aspek ekonomi, pelemahan ekonomi menyebabkan masalah pada dunia ketenagakerjaan kita. Pandemi covid-19 menambah jumlah pengangguran sebanyak 2,67 juta menjadi 9,77 juta orang pada Agustus 2020. Imbasnya, tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2020 melonjak menjadi 7,07 persen. Realisasi itu naik dari posisi Agustus 2019 yang sebesar 5,23 persen. (cnnindonesia.com, 2020)
Krisis ketenagakerjaan sebab pandemi covid-19 ini sebenarnya hanya memperarah kondisi yang sebelumnya sudah berlangsung di Indonesia. Mengutip data dari databoks Katadata.co.id, selama 2016 hingga tahun 2019, diketahui bahwa jumlah pengangguran di Indonesia fluktuatif pada kisaran 6 s.d 7 juta orang atau tenaga kerja.
Sementara pada tahun 2019, masih berdasarkan data dari sumber yang sama, meskipun secara umum jumlah pengangguran menurun, namun jumlah pengangguran lulusan diploma dan sarjana justru meningkat. Penganggur lulusan Diploma I, II dan III meningkat 8,5% sedangkan lulusan Universitas meningkat 25%.
Peningkatan jumlah pengangguran terdidik ini tentu ironis. Dalam kajiannya, Katadata.co.id menuliskan setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan peningkatan jumlah pengangguran diploma dan S1 ini, yaitu: keterampilan tidak sesuai kebutuhan industri, ekspektasi penghasilan dan status lebih tinggi serta terbatasnya ketersediaan lapangan kerja.
Menghadapi tren pengangguran ini, diperparah oleh krisis ekonomi sebab pandemi covid-19, salah satu kontribusi yang bisa dilakukan oleh PMII sebagai organisasi maupun individu kadernya guna pemulihan serta perbaikan kondisi ekonomi adalah menciptakan kewirausahaan sosial (social enterprise).
Usaha sosial merupakan suatu bentuk bisnis baru yang berbeda dengan perusahaan dengan tujuan memaksimalkan keuntungan. Sebaliknya, wirausaha sosial hanya berupaya mencapai keuntungan pribadi yang terbatas tetapi pada akhirnya mencapai di luar tujuan sosial spesifiknya (Yunus, 2008)
Di dalam laporan kerja “Art of Sustainable Giving”, social enterprise didefinisikan sebagai bisnis sosial yang memiliki tujuan untuk memberikan dampak sosial, yang secara bersamaan menerapkan model bisnis tertentu untuk mencapai tujuan misi sosial mereka, menyeimbangkan profitabilitas dan dampak sosial, sehingga dapat menginvestasikan kembali keuntungan dalam bisnis mereka (Siregar, Tampubolon, & Yulius, 2015).
Sedangkan social enterprise, di Indonesia didefinisikan sebagai kegiatan komersial apa pun yang dimotivasi oleh tujuan sosial atau komunitas dan di mana sebagian besar keuntungannya menuju mendukung misi sosialnya (British Council & UNESCAP, 2018a)
Model bisnis dari usaha sosial bisa bermacam-macam. Di beberapa negara, perusahaan sosial sering terdaftar sebagai koperasi, lembaga keuangan, yayasan atau organisasi nirlaba. Menurut (Siregar et al., 2015), karena Kurangnya dukungan hukum oleh pemerintah, perusahaan sosial di Indonesia terdaftar dan termasuk kategori sebagai lembaga koperasi, lembaga keuangan, yayasan, organisasi atau perusahaan. Lebih lanjut, di Indonesia bidang usaha SE yang populer adalah Penjualan produk dan jasa sebanyak 68% , Peningkatan Komunitas 58%, dan Peluang kerja yang lebih inklusif 49%.
Setiap provinsi memiliki jenis usaha sosial yang unik dan khas. Sebagai contoh, di Pulau Jawa, industri kreatif, pendidikan dan pertanian secara alami merupakan sektor yang paling populer bagi perusahaan sosial. Demikian juga, industri serupa juga merupakan sektor yang paling umum ditemukan untuk usaha sosial di Pulau Sumatera dan Indonesia Timur. Namun, di Sulawesi, pertanian adalah sektor yang paling lazim bagi perusahaan sosial, diikuti oleh industri pangan dan kreatif. (British Council & UNESCAP, 2018a).
Hasil riset dari British Council & UNESCAP di tahun 2018 juga melaporkan bahwa, sektor usaha sosial di Indonesia didominasi dan dipelopori oleh generasi milenial, (46 persen) dengan usia pengusaha berkisar antara 25 hingga34 tahun. Sektor usaha sosial ini juga telah berkontribusi secara signifikan untuk menciptakan tenaga kerja yang lebih inklusif, mempekerjakan lebih banyak kaum wanita daripada sektor lain, dengan tenaga kerja perempuan masing-masing sebesar 69 % dan tenaga kerja pria 31%.
Selain itu, sektor ini telah berkontribusi sekitar 19,4 miliar rupiah terhadap PDB Indonesia. Berkat usaha sosial, tingkat ketenagakerjaan juga mengalami peningkatan dari 2016 hingga 2017 di mana ada peningkatan jumlah total pekerja full-time sebanyak 42%, dan peningkatan sebanyak 26% untuk pekerja perempuan paruh waktu. Ada juga peningkatan 99% yang dilaporkan dalam jumlah pekerja perempuan penuh waktu dan lonjakan 30% karyawan perempuan paruh waktu. Usaha sosial di Indonesia telah menghasilkan dampak positif besar bagi masyarakat, seperti memberdayakan perempuan dan memberikan aksesibilitas sekolah yang lebih besar kepada anak-anak (Siregar et al., 2015).
Sektor usaha sosial di Indonesia secara konsisten memberikan dampak positifnya terhadap perkembangan ekonomi negara dengan memberikan nilai-nilai sosial dan ekonomi yang kreatif. Seperti yang jelaskan oleh Dwianto (2018), usaha sosial telah menjadi modal sosial, secara signifikan meningkatkan peluang kerja baru, secara produktif menciptakan barang dan jasa baru bagi masyarakat, dan meningkatkan kesejahteraan sosial dan kesetaraan.
BATIK LASEM merupakan salah satu bisnis perusahaan sosial di Indonesia yang berfokus pada produksi batik tulisan tangan, telah menurunkan tingkat pengangguran di kalangan wanita dan memungkinkan mereka untuk dipekerjakan secara produktif. Para pekerja tidak hanya mendapatkan upah mereka, tetapi mereka juga mempraktikkan bagi hasil.
Batik Lasem telah berhasil mengembangkan banyak produk inovatif baik dalam desain motif campuran Tionghoa maupun Jawa yang penuh dengan beragam motif flora, fauna, dan geometri. Batik Lasem menciptakan sumber dana sosial yang lebih besar bagi anggotanya sebagai modal usahanya dan mempromosikan kesetaraan gender dengan menunjukkan bahwa perempuan dapat memimpin dan mengoperasikan bisnis sebagaimana layaknya pria memimpin (Listyorini, 2012) .
Jika ditarik lebih luas, berbagai usaha rintisan (start-up) digital berbasis platform yang sudah jamak kita jumpai juga sudah menerapkan konsep wirausaha sosial ini. Beberapa usaha rintisan memiliki model bisnis yang mempertemukan pengendara ojek dengan penumpangnya, beberapa mempermudah pengelola hotel diakses calon pelanggannya sedangkan beberapa yang lain mampu mengatasi masalah dalam proses melamar kerja, mengakses fasilitas kesehatan dan jadi “etalase” bagi produk dari UMKM.
Modal Besar PMII
Pertama, sebagaimana saya tulis di awal, PMII memiliki modalitas berupa kuantitas kader yang sangat banyak dan tersebar di seluruh Indonesia. Kuantitas kader ini bisa jadi modal penting untuk membangun kolaborasi lintas keilmuan atau kompetensi. Kader-kader PMII berasal dari beragam fakultas, mulai fakultas Bahasa, ekonomi-bisnis hingga kedokteran.
Kolaborasi lintas keahlian ini jadi faktor penting guna membangun usaha sosial terutama yang berbasis digital. Kader-kader dari dari fakultas ekonomi bisnis bisa menyusun model bisnis, rencana pemasaran dan keuangan usahanya, sedangkan kader-kader dari prodi teknologi Informasi bisa melakukan desain web, membangun aplikasi mobile dan kerja-kerja sejenis.
Modalitas kedua adalah paradigma kritis-transformatif yang ada dalam tubuh PMII, yang tidak terlewat diajarkan dalam proses kaderisasi formal. Kemampuan berpikir serta menganalisa secara kritis jadi proses penting dalam membangun usaha sosial. Kader PMII setidaknya mampu berpikir secara mendalam, mengidentifikasi masalah-masalah sosial dan lingkungan yang dijumpai di sekitarnya, mencari akar masalahnya selanjutnya secara transformatif mencoba membangun beragam opsi strategi penyelesaian yang baik dan efisien. Proses dasar semacam ini sudah umum diajarkan dan dikuasai kader-kader PMII.
Modalitas ketiga adalah kedekatan dengan masyarakat bawah. Sebagaimana umumnya organisasi pergerakan mahasiswa ekstra kampus, PMII tumbuh dan berkembang dekat dengan masyarakat bawah. Berbagai prosesi kaderisasi formal dan program kerja organisasi PMII hampir selalu berkaitan dengan advokasi kepentingan masyarakat juga pengembangan kapasitas mereka. Sejarah kedekatan secara emosional dan praktis ini menjadi peluang untuk melakukan berbagai pengamatan juga mengumpulkan data akurat terkait masalah-masalah yang secara riil masih dialami masyarakat. Dari penelitian Buana dan Masjud (2020), diketahui bahwa empati menjadi faktor penting bagi munculnya niat untuk menjadi wirausahawan sosial.
Tiga modalitas tersebut jadi faktor penting untuk memulai kewirausahaan sosial di tubuh PMII. Selanjutnya tinggal melengkapinya dengan motivasi kewirausahaan yang tinggi, keberanian menghadapi resiko dan ketidakpastian, inovasi, kreatifitas dan kemampuan berkolaborasi yang baik dalam sebuah tim yang berorientasi penyelesaian masalah sekaligus memperoleh keuntungan guna keberlangsungan usaha sosialnya.
Serta yang tidak kalah penting, secara kelembagaan kepengurusan dari Pengurus Besar PMII yang akan datang terus memberikan dorongan juga fasilitas bagi kader-kader di level basis untuk menjadi pelopor terciptanya sebanyak mungkin kewirausahaan sosial. Hal ini sebagai upaya taktis dan strategis bagi PMII untuk mengatasi krisis ekonomi sebab pandemi, masalah pengangguran dan menyelesaikan beragam masalah sosial-lingkungan hidup yang dihadapi masyarakat.