Penulis: Andi Ansharullah Ibrahim (Malang)
Paradox dari Gerakan Media : Mematahkan Mitos Konektivitas
Pandemi COVID-19 telah mengubah secara substantif kegunaan dari media komunikasi dalam proses penyampaian informasi di bidang organisasi/komunitas. Kondisi ini menjadikan keberlangsungan suatu organisasi/komunitas tidak bisa lepas dari peran media komunikasi sebagai sarana penyampaian informasi.
Di tengah pandemi COVID-19 saat ini, komunikasi merupakan sebuah langkah penting guna menyampaikan informasi yang dibutuhkan seseorang ataupun masyarakat. Lebih jauh lagi, komunikasi menjadi kepentingan lain dalam menghadapi COVID-19 ini. Dengan kebijakan pembatasan sosial, maka gerakan media sebagai komunikasi massa menjadi sebuah pilihan untuk penyampaian informasi kepada publik.
Menanggapi berbagai persoalan yang timbul akibat pandemi COVID-19 ini, gerakan media komunikasi publik menjadi pilihan terbaik dalam proses interaksi sosial yang harus tetap berjalan di tengah pandemi. Dalam arti bahwa gerakan media komunikasi publik, menjadi salah satu kebutuhan utama, serta komunikasi yang dilakukan di depan orang banyak atau khalayak umum.
Dalam konteks dan situasi pandemi seperti ini, gerakan media komunikasi publik ini hanya bisa diaktualisasikan dengan cara dan upaya untuk selalu terhubung ke setiap orang menggunakan teknologi berbasis internet. Konektivitas boleh dibilang pengubah permainan yang paling penting. Ada berbagai kasus terkait bagaimana konektivitas mendisrupsi berbagai bidang industri yang
sudah lama mapan dengan rintangan masuk yang tinggi.
Contohnya toko buku tradisional dan kemudian industri penerbitan didisrupsi oleh Amazon. Toko penyewaan video dan industri perfilman didisrupsi oleh Netflix. Sebenarnya apa makna dari konektivitas itu sendiri?
Konektivitas adalah suatu hubungan yang dimediasi oleh suatu sistem seluler komunikasi yang dapat memberikan layanan telekomunikasi baik data berupa suara, maupun video dimana aksesnya bisa dilakukan oleh pengguna dalam keadaan bergerak.
Meskipun sudah begitu jelas pengaruh dari konektivitas, namun kita sering meremehkannya semata-mata sebagai ancaman teknologi yang harus dihadapi untuk keberlangsungan organisasi/komunitas. Dalam konteks terseebut, strategi keberlangsungan komunitas/organisasi seringkali memandang konektivitas sekedar sebagai platform dan infrastruktur pendukung. Meskipun benar begitu, namun kita harus melihat secara holistik atau menyeluruh untuk menghindari perangkap berpikir ini.
Sebuah survei oleh google mengungkapkan bahwa 90% interaksi kita dengan media kini difasilitasi oleh layar:-layar ponsel pintar, tablet, laptop dan televisi. Dan dibalik interkasi berbasis layar ini, tulang punggungnya internet. Menurut Cisco, satu dari tiga mahasiswa dan professional muda menganggap internet sama pentingnya dengan kebutuhan dasar manusia seperti udara, air, makanan dan tempat tinggal.
Menurut Hootsuite, pengguna internet di seluruh dunia mencapai 57% dari jumlah total keseluruhan penduduk dunia dan sisanya masih dalam tahap penetrasi yang artinya masih akan terus meningkat. Jumlah ini jikalau di tranformasi dalam bentuk angka sebenarnya yaitu sejumlah dari 7676 miliar total populasi penduduk dunia, 4388 miliar jiwa ialah pengguna internet aktif dan sisanya masih dalam tahap penetrasi yang artinya masih akan terus meningkat.
Dengan jangkauan yang begitu massif ini menunjukkan begitu besar peluang yang akan dimiliki jikalau kita mampu untuk mengelolanya dan menjadikannya sebagai sebuah keunggulan bersaing bagi yang mampu menguasainya.
Karena semua pembahasan yang sudah terurai di atas erat kaitanya dengan segmen kaum muda, konektivitas sering dianggap relevan hanya untuk pengguna dari generasi lebih muda. Ditambah lagi dengan adanya wabah pandemi ini yang implementasi strategi konektivitas hanya sebatas pengalihan/backup plan untuk menjaga keberlangsungan hidup dari komunitas/organisasi
itu tidak bisa pungkiri.
Namun sebagai penerus tongkat estafet kepengurusan dan juga hidup di era sebagai pelaku digital ini, para penerus muda saat ini adalah generasi pertama yang mengadopsi konektivitas, mereka juga akan mengilhami junior mereka untuk juga mengadopsi konektivitas. Selain itu, seiring menuanya populasi dunia, pelaku digital akan menjadi mayoritas dan konektivitas akhirnya akan menjadi suatu yang normal.
Paradoks: Pengguna Terinformasi versus Pengguna Teralihkan
Kita semua berpikir bahwa user masa kini adalah user yang paling berkuasa, maksudnya adalah bisa dipastikan sebagian besar dari mereka secara aktif mencari informasi dalam berbagai hal. Pada dasarnya para pengguna dapat terpengaruhi oleh 3 faktor. Pertama, mereka terpengaruh oleh komunikasi pemasaran diberbagai konten media. Kedua, mereka dipersuasi oleh para sahabat dan kolega mereka. Ketiga, mereka juga mempunyai pengetahuan pribadi dan sikap terhadap suatu kasus tertentu berdasarkan pengalaman pribadi.
Sebenarnya, pengguna saat ini sangat tergantung pada pendapat orang lain. Dalam banyak kasus, kata-kata orang lain bahkan menjadi lebih penting daripada preferensi pribadi dan komunikasi pemasaran media. Alasannya adalah tak lain dari konektivitasnya sendiri. Disisi positifnya, konektivitas memberikan kemudahan dalam mendapatkan informasi yang bermanfaat bagi para penggunanya.
Namun konektivitas serta kehadiran beberapa perangkat dan layar, juga mendatangkan gangguan. Konektivitas menghambat kemampuan pengguna untuk fokus dalam mengolah suatu informasi. Ini adalah potret pengguna yang terhubung tetapi teralih (perhatiannya).
Sebuah survey oleh National Center of Biotechnological Information menunjukkan bahwa rentang perhatian rata-rata manusia telah turun 12 detik pada tahun 2000 menjadi 8 detik pada tahun 2013. Ini dapat dikaitkan betapa masif dan berlimpahnya volume pesan yang senantiasa membombardir pengguna internet dan menuntut perhatian seketika. Di masa depan, akan lebih sulit menyampaikan sebuah pesan. Perhatian pengguna akan menjadi langka.