Pada tahun 2003 sebagai permulaan berlakunya AFTA merupakan tonggak penting bagi koperasi Indonesia, karena akan menentukan corak koperasi yang masih akan bertahan ke depan, Dalam hal ini yang patut dilihat adalah konteks daya saing produk yang dihasilkan para anggota koperasi, sehingga daya saing koperasi tidaklah berdiri sendiri.
Secara umum problematika peningkatan daya saing koperasi Indonesia justru bukan terletak pada persoalan perbandingan dalam kelangkaan sumber daya, tetapi justru persoalan “kemampuan manajerial” dalam proses pengelolaan koperasi di setiap lini dalam menghasilkan dan memasarkan barang dan jasa baik di dalam dan luar negeri.
Kelemahan “competitive strength” koperasi terletak pada rendahnya kemampuan “competitive advantage” dalam suasana sebagian besar kegiatan produksi koperasi memiliki “comparative advantage”. Jika demikian kondisi yang dihadapi koperasi, maka fokus yang menjadi perhatian gerakan koperasi haruslah pada kemampuan memanfaatkan permintaan domestik, baik dalam pasar input produksi maupun pasar barang dan jasa untuk konsumsi.
Dari pengalaman gerakan koperasi di Indonesia selama beberapa tahun proses liberalisasi perdagangan yang diikuti oleh rasionalisasi fasilitas bagi koperasi, justru memperlihatkan semakin intensifnya kontak dengan dunia luar oleh gerakan koperasi, baik yang berkaitan dengan impor barang maupun ekspor produk-produk yang merupakan produk unggulan, terutama produk etnik (furniture, produk kerajinan) dan produk berbasis sumber alam.
Dalam hal ini kesulitan koperasi justru disebabkan oleh “instabilitas nilai tukar rupiah” ketimbang tidak adanya permintaan dan kemampuan pembiayaan. Dengan demikian liberalisasi perdagangan bukan suatu momok bagi koperasi untuk berkembang. Bahkan liberalisasi perdagangan yang dilakukan secara bertahap melalui penghapusan tata niaga dan penghapusan hambatan non-tarif telah memberikan kesempatan bagi koperasi untuk belajar, sehingga pada perdagangan bebas diberlakukan penuh yang dimulai dengan AFTA, maka koperasi Indonesia akan menjadi terbiasa dalam alam tersebut.
Problematika yang dihadapi ekonomi Indonesia secara nasional pasca krisis adalah jumlah pengangguran yang meluas dan sensitifitas nilai tukar rupiah yang tinggi. Dengan demikian yang harus diperhatikan oleh koperasi, terutama yang bergerak dalam jasa pemasaran akan menjadi terkendala untuk berkembang. Hal ini antara lain karena banyaknya pencari kerja yang masuk ke dalam lapangan kerja yang mudah dan itu biasanya berada di sektor jasa perdagangan eceran barang kebutuhan pokok yang dari segi permintaan terjamin ada di setiap hari, dan bahkan mereka rela mendapatkan margin yang kecil hanya sekedar untuk bertahan hidup dalam sektor yang bersifat informal. Dalam situasi semacam ini kegiatan pemasaran oleh koperasi biasanya tidak kompetitif karena adanya faktor struktural yang menimbulkan perbedaan biaya yang berbentuk perbedaan “biaya finansial” dan “biaya ekonomi”.
Dengan Pertumbuhan koperasi akan terletak pada sektor yang mempunyai karakteristik universalitas kebutuhan individu yang tinggi, karena hanya kegiatan semacam ini yang mudah mencapai kelayakan ekonomi serta kemampuan jangkauan pelayanan yang meluas melampaui batas kesamaan kegiatan ekonomi. Dua pilar utama kemajuan koperasi dalam dasawarsa yang akan datang ini terletak pada “usaha jasa keuangan” dan “kegiatan pembelian bersama”.
Dua kegiatan ini akan menjadi ciri kegiatan yang dapat menjadikan lokomotif kebangkitan koperasi di Indonesia untuk menjadi koperasi mandiri. Koperasi harus mulai semata-mata berhitung untuk pertimbangan bisnis bagi pelayanan kebutuhan anggota maupun bisnis yang dimandatkan anggota. Sesuai dengan semangat kebebasan berkoperasi dan rasionalisasi fasilitas, koperasi harus dapat bernegosiasi dan menolak terhadap tuntutan partisipasi koperasi yang tidak memberikan manfaat bagi anggotanya atau menimbulkan kerugian atau resiko kerugian terhadap koperasi.
Melihat posisi koperasi pada saat ini di mana aset koperasi sudah di dominasi oleh kegiatan koperasi di bidang jasa keuangan, maka restrukturisasi kegiatan koperasi sebenarnya sudah berjalan, dengan demikian akan mampu tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan koperasi di Indonesia saat ini sangat kompatibel untuk menanggapi rasionalisasi kredit perbankan kepada petani dan belum pernah terjadi sebelumnya. Di sektor riil, kegiatan pembelian baik oleh koperasi produsen seperti KUD, Koperasi Pertanian, dan Koperasi Perikanan masih mendominasi kegiatan pembelian, termasuk pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya.
Sementara koperasi konsumen sedang mempersiapkan kegiatan perkulakan atau pembelian bersama dan membangun jaringan, sehingga perannya untuk menjadi motor pertumbuhan koperasi semakin terlihat. Koperasi akan menikmati keuntungan dari dibukanya perdagangan luar negeri, sehingga arus penyediaan barang dan jasa baik untuk input maupun untuk tujuan konsumsi akan semakin besar, sehingga dukungan pembiayaan atau penciptaan mekanisme pembiayaan bersama dalam bentuk konsorsium perlu dilakukan koperasi.
Prospek kegiatan koperasi di bidang agroindustri akan sangat tergantung pemulihan di sektor perbankan. Karena pada dasarnya di sektor produksi bahan baku telah siap seperti pada sub-sektor perkebunan terutama kelapa sawit. Di Jawa yang selama ini sebagian besar menjadi subsistem industri gula pasir dengan menanam tebu, maka sekarang harus bekerja keras dengan merubah paradigma pengembangan agroindustri gula, dari orientasi agroindustri gula pasir menjadi agroindustri berbasis tebu.
Dengan demikian jangan berpikir untuk memisahkan diri dari inefisiensi pabrik gula yang sesuai dengan rencana jangka panjang harus ditutup untuk direlokasi ke luar Jawa. Ini berarti pabrik gula yang akan tinggal di Jawa hanyalah pabrik yang efisien yang mampu bertahan hidup dengan tanpa intervensi pemerintah untuk mendapatkan bahan baku. Sebaiknya gerakan koperasi melakukan tekanan untuk dapat ikut mengelola pabrik gula bersama BUMN untuk menjamin stabilitas produksi gula oleh pabrik-pabrik yang benar-benar dinilai telah efisien.
Posisi dan Peran Koperasi dalam Sistem Ekonomi Indonesia
Bagi perekonomian Indonesia, kita perlu mengkaitkan dengan konteks Sistem Ekonomi Nasional Indonesia (SENI) dan kedudukan koperasi. Dari sisi produksi pelaku ekonomi di Indonesia terdiri dari usaha negara, usaha swasta besar nasional, usaha swasta asing dan usaha ekonomi rakyat. Dalam hal jumlah unit usaha yang ada di Indonesia terdiri dari usaha rumah tangga, usaha kecil dan menengah dalam bentuk badan usaha yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Kontribusi masing-masing sektor dalam produksi nasional, dapat dilihat dari sudut sumbangan tiap sektor terhadap jumlah unit usaha, sumbangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) maupun penyerapan tenaga kerja. Dari sisi konsumsi sektor ekonomi rakyat, secara mudah dapat dikenali dari sektor rumah tangga yang memegang posisi penting dalam menentukan permintaan domestik.
Dikatakan mudah dikenali karena memegang porsi terbesar yaitu 65% (1998) dari pengeluaran agregat. Pengeluaran rumah tangga yang mencerminkan kehidupan sektor ekonomi rakyat dapat dilihat dari komposisi rumah tangga berdasarkan pengeluaran dimana secara umum masih didominasi oleh kelompok rumah tangga miskin dan hampir miskin.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana kedudukan koperasi dalam Sistem Ekonomi Rakyat. Koperasi sebagai salah satu bentuk atau metode menjalankan usaha serta sebagai salah satu bentuk dan organisasi perusahaan, di antara para produsen kecil dan menengah di samping usaha perseroan milik negara, usaha swasta besar nasional maupun asing.
Koperasi juga tidak mustahil sebagai salah satu di antara usaha besar sesuai dengan inpres 10/1999 yang menentukan usaha besar adalah usaha yang memiliki aset di atas sepuluh milyar rupiah di luar tanah dan bangunan.
Di sektor produksi jasa, koperasi adalah salah satu bentuk lembaga keuangan yang mengorganisasikan pelayanan jasa keuangan, baik berbentuk bank maupun bukan bank. Sementara di sisi konsumsi, koperasi adalah organisasi para konsumen yang bergerak di dalam pelayanan jasa pemenuhan kebutuhan barang-barang konsumsi bagi rumah tangga. Dengan demikian koperasi konsumen sebenarnya lebih menyerupai perusahaan jasa bagi para konsumen untuk kelompok menengah ke bawah, untuk menekan biaya transaksi dan mendapatkan nilai tambah, serta jaminan pasar di sektor produksi. Dengan cara ini para konsumen dapat meningkatkan kesejahteraan dan terjaga hak-haknya.
Dalam konteks organisasi, koperasi mempunyai aturan dan cara tersendiri dalam memperjuangkan kepentingan ekonomi anggotanya. Oleh karena itu, koperasi juga disebut sebagai gerakan, bahkan mempunyai organisasi dengan skala dunia yang mempunyai kedudukan sebagai “observer” pada badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Koperasi yang usahanya mendasarkan pada prinsip pemilik maka pengguna jasa koperasi telah merupakan suatu sistem gerakan dengan skala yang luas dan merupakan jaringan atas dasar kesamaan kepentingan dan aspirasi. Berbeda dengan koperasi yang segala nilai tambah yang diperoleh dialirkan kembali kepada para anggotanya, di dunia juga dikenal adanya sistem lain yang mempunyai fungsi yang sama untuk menolong usaha kecil yaitu melalui sistem subkontrak.
Usaha menengah pada umumnya mampu menjadi lokomotif penarik bagi usaha kecil melalui wahana kemitraan. Oleh karena itu antara usaha menengah dan koperasi mempunyai fungsi yang komplementer dalam memajukan usaha kecil. Pembagian tugas fungsional ini akan ditentukan oleh karakteristik fungsi produksi dari masing-masing kegiatan.
Fungsi koperasi selain gerakan pendidikan dan memajukan kesejahteraan masyarakat termasuk aspek kelestarian lingkungan hidup, adalah untuk mengangkat kemartabatan suatu masyarakat atau bangsa terutama dalam berekonomi. Karena sifat gerakan koperasi yang sering disebut sebagai “quasi public”, maka cukup banyak barang-barang publik yang dihasilkan oleh koperasi yang dalam jangka panjang mungkin tidak dikenal lagi bahwa itu adalah bagian dari hasil gerakan koperasi.
Di Indonesia pada dasawarsa 1960-an cukup banyak koperasi yang meninggalkan fasilitas pendidikan dan kesehatan atau bahkan Asuransi Bumi Putera 1912 sebagai “mutual company” adalah contoh bentuk akhir yang ideal dari koperasi yang berhasil. Perusahaan mutual pada awalnya didirikan oleh para pendiri atau sponsor dengan prinsip dari, oleh dan untuk anggota. Model koperasi semacam ini biasa disebut dengan “sponsored cooperative”.
Dalam suatu perekonomian pasar, peran utama dari koperasi adalah menjadi wahana kerjasama pasar bagi para anggotanya untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang optimal melalui kegiatan produksi dan konsumsi barang dan jasa. Dengan demikian koperasi tidak untuk memaksimalkan nilai tambah bagi “perusahaan koperasi” tetapi nilai tambah bagi para anggotanya. Oleh karena itu, secara konseptual adalah “salah” menjadikan kontribusi dalam PDB sebagai ukuran keberhasilan koperasi. Indikator “eksistensi” koperasi dalam suatu perekonomian pasar adalah “pangsa pasar” koperasi dalam kegiatan atau sektor di mana jasa koperasi diperlukan. Dalam suatu kajian regional yang pernah dilakukan, ukuran yang dianggap tepat adalah menempatkan koperasi di sektor-sektor “Industri manufaktur” dan “tersier” atau jasa perdagangan (baik pembelian maupun distribusi) di mana koperasi menghasilkan nilai tambah.
Sementara itu, untuk mengetahui posisi perekonomian rakyat dalam perkembangan perekonomian nasional telah diangkat tiga indikator penting yaitu: (a) jumlah penyerapan tenaga kerja: (b) nilai tambah untuk masingmasing sektor, dan (c) ekspor produk usaha kecil dan menengah. Koperasi sebagai badan usaha dapat berdiri sebagai usaha kecil, menengah atau bahkan usaha besar sesuai skala bisnis atau “omzet” dan besarnya aset yang dimilikinya, demikian juga para anggota koperasi akan diperhitungkan dengan cara yang sama.