Penulis: Muhammad Luthfi Hamdani
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di buku antologi berjudul Muhtadi Ridwan; Abah Semua Kalangan (2025) sebagai upaya mentransmisikan contoh baik keteladanan, kepedulian dan pemikiran beliau dalam kaderisasi, kepemimpinan organisasi serta masyarakat.
Penulis bergabung sebagai anggota PMII pada tahun 2013. Mengukuti kaderisasi Masa Penerimaan Mahasiswa Baru (MAPABA) hingga Pelatihan Kader Dasar (PKD) sesuai time line dari Rayon Ekonomi “Moch. Hatta”.
Beruntungnya sebagai kader PMII di Fakultas Ekonomi UIN Malang, penulis bisa berkenalan, berinteraksi, dan tentu saja belajar banyak dari Profesor Ahmad Muhtadi Ridwan.
Penulis ingat betul, Abah Muhtadi, begitu panggilan akrab beliau, pada beberapa kali kesempatan datang ke lokasi MAPABA dan PKD rayon, hadir juga memberi sambutan saat penulis beserta sahabat-sahabat di rayon Hatta dilantik menjadi pengurus tahun 2015, mampir ke sekretariat rayon baru kami saat syukuran kepindahan, kami sering berkunjung ke rumah beliau, dan begitu banyak momen lainnya.
Pada momen-momen tersebut, yang penulis ingat betul adalah petuah Abah Muhtadi mengenai idealisme gerakan mahasiswa dan idealitas program-program kerja dalam organisasi PMII. Keduanya penulis tafsirkan di kemudian hari sebagai dua konsep yang saling terhubung dan melengkapi.
Perkara idealisme, Abah Muhtadi mengajarkan kami, pengurus rayon, untuk setia pada ide-ide dan nilai, bukan sekadar materi. Roh dari organisasi kemahasiswaan adalah ide-ide tentang pencipataan masyarakat sipil juga negara yang lebih baik, sejahtera, maju dan sejenisnya.
Ide-ide ini hanya bisa dicapai jika kader-kader dalam PMII memegang teguh dan mengaplikasikan nilai-nilai seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, taqwa, intelektual hingga profesional.
Baca Juga: Belanja Buku Terbaik di Shopee
Di kemudian hari, dalam dinamika organisasi terbukti bahwa satu-satunya hal bermanfaat yang bisa kami wariskan sebagai pengurus kepada generasi atau angkatan berikutnya adalah nilai-nilai tersebut, bukan materi berupa uang kas, inventaris yang canggih dan aset fisik kantor — meskipun fasilitas fisik-materil tersebut jelas terus diserah terimakan kepada pengurus berikutnya.
Namun, nilai berupa profesionalitas, kebersamaan, jujur, intelektual adalah bekal yang paling utama untuk terus mendinamisasi organisasi menghadapi tantangan yang berbeda di periode-periode berikutnya.
Nilai-nilai idealisme yang disampaikan Abah Muhtadi melalui kenangannya saat harus berurusan dengan ‘Polisi’ ketika dulu berkuliah di IAIN Surabaya. Serta nilai keadilan dan semangat berbagi yang beliau wujudkan melalui panti asuhan yang dikelolanya. Lokasi yang beberapa kali kami ‘pinjam’ guna melaksanakan kegiatan seperti rapat tahunan atau sekadar kajian keislaman.
Selanjutnya perkara idealitas, yang sering disampaikan Abah Muhtadi dalam agenda-agenda seperti pelantikan, kaderisasi formal maupun saat kami beramai-ramai berkunjung ke rumah beliau. Idealitas ini adalah prinsip sederhana dalam menjalankan aktifitas organisasi. Pada implementasinya, ialah dengan memperbandingkan antara idealitas dengan realitas. Dalam istilah lain, antara: Das Sein dan Das Sollen.
Bisa dimulai dari realitas (Das Sein) dulu, dimana kader PMII harus peka terhadap realitas, khususnya masalah-masalah sosial dan lingkungan dimana mereka berada. Kepekaan ini bisa dilatih dengan terbiasa terjun atau melibatkan diri langsung ke lokasi masalah; bisa di kampus, di masyarakat sekitar, dan di lingkungan yang lebih luas di level kota hingga nasional.
Kepekaan dan keterlibatan ini yang akan jadi modalitas untuk mengidentifikasi masalah sebagai masalah, bukan menganggapnya tidak ada alias bukan sebagai masalah. Masalah yang teridentifikasi kemudian dikaji bagaimana kondisi idealnya; dari buku, hasil kajian, regulasi yang berlaku, dan sejenisnya.
Penulis ingat betul, pesan Abah Muhtadi bahwa tugas organisasi seperti PMII adalah mengisi ‘gap’ atau kesenjangan antara realitas dan idealitas ini. Sumber daya berupa kader, jejaring dan anggaran harus diarahkan untuk mengupayakan program-program kerja yang mendukung terciptanya idealitas tersebut.
Baca Juga: Ubah naskahmu menjadi buku yang keren, klik tautan ini
Petuah-petuah Abah Muhtadi begitu mudah dipahami oleh kami yang jelas jauh sekali perbedaan usianya. Jika dalam banyak artikel dituliskan sering ada konflik (tidak terselesaikan) dalam interaksi antara generasi Baby Boomer dengan generasi Milenial, tampaknya hal sejenis tidak terjadi antara kami dengan Abah Muhtadi.
Sebab kami juga ingat Abah Muhtadi adalah sosok yang sangat demokratis. Keterbukaan pemikiran beliau kami rasakan saat tahun 2017-an ada pemilihan pemimpin baru di kampus. Lalu ada sikap kolektif yang dirasa belum bisa disamakan antara pengurus komisariat dengan ikatan alumni; terselesaikan dengan baik.
Aspek yang paling penting dari petuah beliau adalah semuanya begitu mengena. Faktor utamanya tentu karena beliau merupakan sosok yang sejalan antara pesan dan tindakan.
Semua orang yang mengenal beliau tahu betul dedikasi, kesederhanaan, dermawan (kami sering dibekali beras dan mie instan setelah pamit pulang dari sowan, untuk makan di rayon dan komisariat), konsistensi sikap dan jiwa besar beliau.
Tindakan-tindakan ini yang sejatinya ‘menggema’ lebih keras daripada sekadar khotbah, sambutan atau pesan dan arahan. Juga, nasihat yang keluar dari hati, tanpa tendensi pasti mengena pula di hati.
Tiga paragraf di atas menunjukkan betapa Abah Muhtadi adalah seorang pemimpin yang transformasional. Sosok pemimpin yang menginspirasi dan mampu memotivasi orang-orang di sekitarnya agar berani berpikir kreatif dan mengambil risiko untuk kepentingan bersama dalam organisasi.

Aspek-aspek pemimpin transformasional tampaknya lengkap ada pada beliau: menyebarkan motivasi-inspirasional, memberi stimulus intelektual (berupa pertanyaan-pertanyaan yang sering diajukan di tengah sambutan atau memberi nasihat), pendengar yang baik, berpikiran terbuka, hingga kesediaan untuk menanyakan kebutuhan serta pilihan sikap anggota sebelum memberikan arahan.
Waktu tampaknya berjalan kelewat cepat. Masa-masa penulis berada di rayon dan komisariat sudah terlewat sepuluh tahun lalu. Tahun ini Abah Muhtadi juga sudah akan menjalani masa purnatugas.
Meskipun penulis yakin sosok seperti Abah Muhtadi tidak pernah purnatugas, hanya pindah tempat tugas dari kampus berpindah (lebih fokus) ke masyarakat, NU, maupun yayasan yang beliau dirikan dan rawat selama ini.
Sudah selayaknya kami bersyukur pernah berkenalan dan belajar banyak dari Abah Muhtadi. Seorang living legend dalam dunia pergerakan, dan role model yang paripurna bagaimana kita semua sebagai individu, pemimpin, dan penggerak di masyarakat menyelaraskan antara dzikir, fikir dan amal saleh.