Ekspansi besar-besaran dari populasi manusia disertai segala aktivitas ekonominya selama dua abad terakhir berdampak begitu besar kepada eksistensi spesies lain yang turut menghumi planet bumi.
Keserakahan manusia terhadap sumber daya juga telah mengantar kita menjadi salah satu kekuatan paling merusak di bumi.
Menurut laporan berjudul “Ecosystem and Human Well-Being” (2005) dari (Millenium Ecosystem Assessment, 2005) sebuah studi komprehensif tentang keadaan ekosistem dunia yang dilakukan selama beberapa tahun dengan masukan lebih dari dua ribu ilmuwan, ditemukan bahwa selama lima puluh tahun terakhir manusia telah mendegradasi sebagian besar ekosistem dunia dan mendorong terjadinya penurunan jumlah atau kelimpahan spesies lain, bahkan sebagian spesies berujung punah.
Menurut Jeffrey Sachs (2008; 139) dalam buku “Common Wealth: Economics for a Crowded Planet”, meskipun manusia telah mendapat banyak manfaat dari kemampuan mereka mengeksploitasi alam guna memperoleh makanan, air, energi, bahan baku, dan penggunaan lainnya, penggunaan kekayaan alam kita tampak semakin jauh melenceng dari tujuan-tujuan yang baik. Kita merusak sistem pendukung kehidupan kita di bumi, dan mengemukakan berbagai alasan untuk terus bersikap tidak peduli.
Selanjutnya, Loh & Wackernagel (2004) menuliskan laporan berjudul “Living Planet Index” (LPI) bersama World Wildlife Fund (WWF) bahwa saat ini manusia dihadapkan pada krisis keanekaragaman hayati (biodiversity), dan kita telah melakukan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap spesies yang tak terhitung jumlahnya.
Sebagian besar spesies tadi belum kita ketahui, apalagi terdokumentasikan. Serangan kita datang dari berbagai arah sehingga sistem alami tidak dapat menyesuaikannya. Ada penurunan keanekaragaman hayati dan kelimpahan spesies yang meluas; terjadi penurunan secara drastis kelimpahan spesies sejak tahun 1970.
Baca Juga: Belanja Buku Terbaik di Shopee
Dalam laporan terbaru LPI tahun 2020, statistik utama menunjukkan adanya penurunan index sebesar 60% antara tahun 1970 dan 2018. Ini berarti bahwa, rata-rata, populasi hewan jauh berkurang di bawah setengah jumlah mereka pada tahun 1970.
Penggerak terbesar penurunan keanekaragaman hayati di LPI adalah hilangnya atau degradasi habitat, dan eksploitasi berlebihan.
Kedua faktor tersebut menyumbang setidaknya dua pertiga dari semua ancaman terhadap populasi di setiap kelompok taksonomi (burung, mamalia, ikan, dan amfibi dan reptil). Di luar itu, invasi spesies dan invasi penyakit, serta polusi dan perubahan iklim adalah sumber tantangan lain bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Pada bukunya, Sach (2008: 140) juga menuliskan bahwa semua perubahan di atas akan diperburuk oleh perubahan iklim. Ketika iklim berubah, habitat spesies tanaman dan hewan yang tak terhitung jumlahnya saat ini tidak akan lagi cocok karena perubahan suhu, curah hujan, reaksi kimia misalnya, pengasaman laut dari tingkat CO2 yang lebih tinggi, frekuensi badai, atau perubahan rentang rantai makanan spesies lainnya yang notabene adalah pemangsa, mangsa, atau patogen mereka.
Saat planet memanas, beberapa spesies masih dapat bermigrasi ke luar tempat hidupnya agar tetap dalam kisaran suhu mereka, tetapi spesies yang lain tidak bisa. Karena rute migrasi akan diblokir atau terfragmentasi, atau sebab kemampuan untuk bermigrasi terlalu lambat untuk bertahan hidup dari perubahan iklim, atau karena mereka tidak punya tempat untuk pergi.
Suhu bumi telah meningkat rata-rata 0,11° Fahrenheit (0,06° Celsius) per dekade sejak 1850, atau sekitar 2° F secara total. Laju pemanasan sejak 1982 tiga kali lebih cepat: 0,36° F (0,20° C) per dekade. Tahun 2023 merupakan tahun terhangat sejak pencatatan global dimulai tahun 1850 dengan selisih yang cukup lebar. Diketahui pula bahwa 10 tahun terpanas dalam catatan sejarah semuanya terjadi dalam dekade terakhir (2014-2023). (www.climate.gov)

Reidmiller et al., (2017) dalam laporan “The Fourth National Climate Assessment” memperingatkan dunia untuk mengurangi emisi global hingga 45 persen di tahun 2030 dan meniadakan penggunaan batu bara.
Jika tantangan itu gagal maka manusia harus bersiap menghadapi kenaikan permukaan laut dan perubahan signifikan suhu laut dan tingkat keasamannya. Di sisi pangan, perubahan iklim akan menyebabkan sektor pertanian kehilangan kemampuan menanam beras, jagung, dan gandum.
Kenaikan suhu udara dan air akan membawa pada kekeringan berkepanjangan, mengurangi lapisan es, dan membuat kualitas air permukaan menurun.
Baca Juga:Ubah naskahmu menjadi buku yang keren, klik tautan ini
Sementara perubahan iklim menghadirkan risiko tambahan yang memicu stres, penuaan dini, meningkatkan paparan penyakit melalui air dan makanan, dan meningkatnya kematian akibat suhu panas. Meragukan perubahan lingkungan ketika dampaknya mengancam kehidupan di depan mata adalah kebodohan luar biasa.
David Wallace-Wells dalam buku “The Uninhabitable Earth” (2018; 123) menuliskan ada dampak lain dari kerusakan ekologi ini yang tak banyak dibahas, rendahnya produktivitas.
Para ahli ekonomi telah bertanya-tanya mengapa revolusi komputer dan internet beberapa tahun terakhir tidak menghasilkan kenaikan produktivitas bermakna bagi negara-negara industri. Keberadaan perangkat lunak Spreadsheet, perangkat lunak manajemen data, email, serta inovasi-inovasi digital lain semula tampak menjanjikan kenaikan besar dalam efisiensi bagi bisnis ataupun ekonomi.
Namun kenaikan itu tidak muncul; nyatanya, periode ekonomi ketika inovasi-inovasi itu muncul, bersama ribuan efisiensi berbasis komputer lain, identik dengan stagnasi gaji dan produktivitas serta hambatan pertumbuhan ekonomi, terutama negara-negara maju.
Satu kemungkinan penyebabnya: komputer sudah membuat kita lebih efisien dan produktif, tapi pada waktu yang sama perubahan iklim sudah berefek sebaliknya, mengurangi atau meniadakan sama sekali dampak teknologi.
Satu teori menyatakan efek negatif panas dan pencemaran udara terhadap kognisi, keduanya makin lama makin diperkuat hasil riset. Fenomena di seluruh dunia juga menunjukkan bahwa suhu yang lebih panas memang mengurangi produktivitas pekerja.
Merangkum tantangan ekologis di atas, Sonny Keraf (2022; 3) dalam buku “Ekonomi Sirkuler Solusi Krisis Bumi” menuliskan lima macam krisis dan bencana lingkungan hidup global, yaitu:
- Pencemaran air, udara, laut, dan tanah/lahan,
- Kerusakan hutan, lapisan ozon, lahan, terumbu karang,
- Kepunahan hutan, keanekaragaman hayati, sumber daya alam, sumber mata air,
- Pemanasan global dan perubahan iklim dengan segala dampak ikutannya berupa badai, kekeringan, banjir dan longsor, gagal tanam, gagal panen, penyakit, naiknya permukaan laut, tenggelamnya berbagai pulau kecil dan kota, intrusi air laut,
- Dampak sosial akibat keempat bencana di atas: penyakit, konflik sosial, kemiskinan, kekurangan gizi, menurunnya kualitas hidup manusia, dan lain sebagainya.
Menurut Makower & Pike (2009; 14) masalah lingkungan hidup telah lebih kompleks untuk saat ini, serta tentu lebih sulit untuk diabaikan dan menghentikannya.
Memahami kondisi yang demikian, strategi perusahaan ataupun pelaku bisnis perlu mencerminkan penyesuaian atas perubahan dan kompleksitas ini.
Tantangan lingkungan saat ini jauh melampaui kondisi yang kita hadapi sebelumnya, yang mempengaruhi tidak hanya spesies burung dan pepohonan, tetapi juga berpotensi menghadirkan ancaman terhadap keberlangsungan ekonomi, kesehatan masyarakat, dan juga kesejahteraan semua manusia.