Penulis: Luthfi Hamdani
Di tengah masih terus bertambahnya kasus positif dan kematian sebab virus corona, ekonomi Indonesia dipastikan terkena resesi. Dua kuartal berturut-turut pertumbuhan ekonomi dalam kondisi negatif dan minus. Untuk kuartal 3 yang berakhir hari rabu kemarin (30/9), pasti minus di kisaran 2,9% sampai 1% (nunggu pengumunan resmi).
Penurunan aktifitas ekonomi (yang tercatat) dan menyebabkan resesi ini tentu mengkhawatirkan. Tapi mari sedikit membagikan apa yang saya amati beberapa waktu terakhir di sekitar lingkungan saya.
Kita masuk resesi saat petani baru saja selesai prosesi panen, padi yang sekarang sedang dijemur dan digiling. Panen periode ini tampaknya berjalan sukses dan lancar. Alhamdulillah, dan sekarang tampak sudah mulai proses menanam lagi. Dealer motor terbesar di kota saya beberapa hari terakhir juga hampir selalu mengirim unit-unit motor baru ke pemesannya, menggunakan mobil bak terbuka. Siang ini (1/10), saya jumpai mereka mengirim dua unit motor N-MAX, satu putih satu biru.
Kedai-kedai kopi mulai di Kediri dan Trenggalek juga masih terus ramai, Tulungagung tentu jangan ditanya. Berdasar observasi saya, baik untuk yang murah-murah ataupun level coffee shop kekinian sama ramainya. Beberapa unggahan teman di Instagram, di Malang dan Surabaya juga ndak sepi pengunjung.
Pemilik usaha konter HP di desa saya juga masih rutin memposting di Facebook prosesi “closingan”, dagangan HP-nya terjual. Walaupun ndak setiap hari juga. Belum lagi voucher internet. Di ruas jalan menuju sekolah tempat ibu saya mengajar, sedang ada perbaikan aspal dan saluran irigasi. Satu program padat karya dari pemerintah yang tetap jalan dan alhamdulillah menyerap banyak tenaga kerja.
Saat tadi pagi bersepeda dan beberapa hari terakhir pergi dari rumah ke Trenggalek kota, satu tren yang saya amati adalah semakin banyak mobil-mobil bagus seperti Fortuner, Pajero, dan idola saya mobil Innova Venturer wira-wiri ke di jalan utama Trenggalek. Hipotesis saya, mereka ini adalah orang-orang partai politik, ormas dan LSM yang berkepentingan dengan jalannya Pilkada. Untuk proses konsolidasi dan sejenisnya.
Pilkada serentak di tengah pandemi ini banyak dikritik. Namun dalam ekonomi kita tahu pemerintah adalah pelaku belanja terbesar (the biggest splender). Lewat belanja dari APBN, kalau kurang seringkali bisa utang dari dalam maupun luar negeri. Uniknya, kandidat-kandidat yang akan jadi pemimpin pemerintahan ini juga ndak kalah besar belanjanya. Saya ndak tahu pasti berapa uang yang keluar dan berputar setiap kali proses pilkada, namun tentu bukan cuma ratusan juta. Bisa milyaran dan triliyunan secara akumulatif.
Uang yang dibelanjakan mulai dari untuk membayar tim pemenangan, untuk pengadaan perlengkapan pemenangan (kaos, baliho, stiker, ngecat mobil, sewa gedung) atau bahkan diberikan langsung secara tunai kepada konstituen (pemilih), yang bisa ratusan ribu per kepala. Di tengah situasi sulit, uang yang mereka belanjakan ini lumayan membantu, secara langsung ataupun tidak langsung. Daripada nginep terus di deposito bank atau jadi asset tanah ratusan hektar yang ndak terpakai maksimal. Belum lagi kalau ada tambahan dana dari cukong, sebagaimana pernyataan menko Mahfud kapan hari.
Dana yang disalurkan ke pelaksana dan pengawas pilkada di semua level tentu juga luar biasa besar, mereka saudara-saudara kita yang tentu keberatan jika kehilangan sumber pemasukan.
Dari pengamatan di atas, tentu semua masih terasa seperti biasa, tidak terlihat ada krisis parah yang benar-benar menakutkan. Walaupun kita juga bisa membaca ribuan bahkan jutaan buruh terkena PHK, pabrik-pabrik mengurangi kapasitas produksinya untuk menyesuaikan penurunan permintaan dan mematuhi protokol kesehatan.
Pemerintah juga menganggarkan dana hampir 700 triliun, yang terutama untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Setidaknya selain mereka tetap bisa makan, juga bisa belanja kebutuhan sekunder bahkan tersier. Bantuan yang tentu harus diseleksi ketat agar tepat sasaran. Menurut Menteri keuangan, belanja pemerintah dan belanja masyarakat jadi komponen utama untuk menjaga dan memperbaiki kondisi.
Sambil berharap situasi terus membaik dan beragam skema penanganan resesi serta krisis kesehatan mampu menunjukkan hasil positif, mari terus menggalakkan perilaku gotong royong, kepedulian, perilaku murah hati dan memberikan perhatian kepada orang lain (altruistic) dan sejenisnya yang sudah mendarah daging dalam budaya hidup bangsa kita.