Penulis: Luthfi Hamdani
Minggu lalu saat menemui dua orang teman di sebuah angkringan yang juga warung kopi, saya menjumpai banyak gadis-gadis belia merokok. Dari penampilan fisiknya, saya perkirakan mereka masih murid SMA. Dua gadis duduk berkumpul bersama tiga remaja pria tepat di seberang meja saya, satu berkerudung, satu tidak. Dua gadis perokok yang lain ada di jarak sekitar delapan meter dari lokasi saya duduk.
Perempuan merokok tentu bukan fenomena baru, namun saya mengira keberadaan mereka hanya ada di Malang, Surabaya atau Semarang. Kota-kota besar yang sering saya singgahi. Bukan di Tulungagung. Dan asumsi saya, perempuan perokok ini selalu berusia jauh di atas yang saya temui di angkringan tersebut. Ternyata dugaan saya salah besar.
Rokok sendiri terlanjur lekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat kita dan rokok hampir tidak bisa dijadikan simbol baik-buruk atau perilaku tertentu. Kita bisa menjumpai banyak kyai dan gus merokok (santri di pesantren saya dulu juga hampir semua adalah perokok), namun preman-preman pemabuk di jalanan dan pasar juga merokok. Banyak pejabat pemerintah, tokoh parpol, tokoh ormas merokok, sebaliknya remaja-remaja tanggung di diskotik juga merokok. Rokok dikonsumsi segala kalangan.
Rokok mungkin sangat identik dengan konsumen lelaki, juga sifat kelelakian. Tapi walaupun masih sering terlihat aneh, jumlah perokok perempuan di Indonesia ini terus mengalami peningkatan. Data Kemenkes 2016, enam juta lebih perempuan Indonesia adalah perokok. Dari tulisan Martini (2020) di situs web Unair, alasan perempuan merokok adalah tuntutan gaya hidup, simbol status dan penghilang stres.
Semakin banyak perokok perempuan usia belia yang merokok di tempat-tempat ramai atau di ruang publik, menurut saya juga menunjukkan bahwa mereka merasa sudah lebih diterima oleh lingkungannya. Lingkungan masyarakat yang kental dengan nilai dan adat ke-timuran.
Saya sendiri yakin manusia sama sekali tidak membutuhkan rokok. Sebagai makhluk hidup, untuk menjaga kelangsungan hidup dan keturunannya manusia hanya perlu makan, minum, tidur dan melakukan hubungan seksual. Rokok bukan kebutuhan, namun keinginan. Kenapa banyak orang dan gadis-gadis ini merokok, tentu sebab dirangsang keinginannya. Oleh teman, oleh lingkungan, dan terutama oleh iklan.
Seandainya saya jadi manajer pemasaran produk rokok dan dituntut terus memperluas pangsa pasar, maka demografi konsumen potensial yang musti saya garap adalah anak-anak yang menginjak remaja dan tentu perempuan. Jumlah keduanya luar biasa besar jika dibandingkan dengan segmen lelaki dewasa (usia produkif) yang selama ini sudah banyak tergarap. Bahwa kemudian bertentangan dengan nilai moral, kesehatan dan agama, jangan gentar. Susun strategi hingga program supaya nilai-nilai dan perilaku tersebut yang berubah. Lagipula, etika bisnis hanya dibicarakan saat kuliah 3 SKS, dulu.
Tugas saya adalah menciptakan kesadaran (awareness) akan keberadaan produk dan menciptakan permintaan (creating demand), bisa lewat event marketing, bisa dengan desain kemasan, melalui konten iklan, dan banyak lagi.
Proses semacam ini bisa mudah kita amati. Misalnya British American Tobacco memproduksi rokok dengan kemasan warna-warni yang ‘sangat perempuan’. Camel [merek dagang kepunyaan R.J Reynolds] juga ada produk yang khusus menyasar kaum perempuan. Atau juga Sampoerna Mild yang dikonsumsi gadis-gadis yang saya temui di lokasi angkringan tadi. Sama. Konser-konser musik pra-pandemi yang disponsori merek rokok juga ndak pernah sepi dari pengunjung perempuan.
Merokok bagi gadis-gadis ini saya rasa lebih kepada upaya mereka menunjukkan simbol kebebasan, pengakuan bahwa mereka keren dan berani, merasa diterima oleh linkaran pertemanan (circle) mereka, beriringan dengan tren perempuan telah lebih berani-vulgar menyampaikan pendapat, kemarahan dan gaya hidup yang mereka pilih di ruang publik, baik dalam dunia maya maupun nyata. Mereka merasa sukses (dan sudah saatnya) menjadi diri sendiri serta keluar dari belenggu tradisi patriarki, cara pikir dan perilaku yang serba dominan laki-laki.
Jika mau adil, tentu rokok berbahaya bagi lelaki maupun perempuan. Sama saja. Ada banyak resiko kesehatan bagi keduanya. Dan seperti saya tulis di awal, rokok ini netral – semua orang dari beragam latar belakang bisa saja merokok. Meskipun menjadi simbol status atau identitas tertentu, namun rokok terlalu ekstrim jika digunakan mengklasifikasikan (memberi stigma) “yang merokok buruk, yang tidak adalah baik.” Perempuan, dalam kondisi tertentu, tentu boleh saja merokok, asal berdasar pilihan sadar mereka sendiri dan sadar akan potensi risikonya.
Beberapa pihak yang tidak mendapat efek buruk dari perilaku merokok misalnya negara, pengusaha rokok dan pengusaha angkringan. Data tahun 2018 menunjukkan negara memperoleh pemasukan Rp. 158 triliun dari cukai rokok. Dari situ, kita tahu cukai rokok menyumbang sekitar 9-11 persen terhadap total keseluruhan penerimaan negara dalam APBN. Negara juga senang sebab industri rokok menyerap jutaan tenaga kerja. Mulai dari hulu petani, buruh di bagian produksi dan ribuan pemasar / penjual produk rokok di bagian hilir. Sekali industri ini bermasalah, bisa krisis dan pusing mencari alternatif menyerap tenaga kerja.
Pengusaha rokok dan angkringan jangan ditanya, mereka untung semua. Walaupun banyak dari mereka tidak mengkonsumsi produk yang mereka ciptakan. Lagipula, kita masih jauh untuk bisa menciptakan lembaga politik, ekonomi (industri) dan sosial yang selain bisa berkelanjutan (sustainable) dan menguntungkan, juga tidak memberikan dampak buruk pada aspek kesehatan.
Di sisi lain, tampaknya sulit mengharapkan institusi keluarga (orangtua) mampu mengontrol dan memperbaiki perilaku gadis-gadis semacam ini. Kontrol dan perbaikan yang saya maksud lebih kepada memberikan pemahaman kepada mereka tentang konsekuensi moral, sosial, kesehatan dan keuangan (beragam pertimbangan yang musti mereka sadari dan pikir ulang setiap sebelum melakukan tindakan atau perilaku yang mereka pilih).
Fungsi edukasi dari keluarga telah lama kalah oleh internet dan media sosial. Bukan hanya itu, banyak keluarga yang tidak tahu juga harus mengedukasi apa terhadap anaknya, dan mengapa melakukannya. Ini siklus “lingkaran setan” yang panjang.
Di tengah pandemi, melihat gadis-gadis belia ini merokok, satu hal yang perlu dilakukan adalah menjaga jarak. Menghindarkan diri dari potensi tertular virus. Itu saja.