Penulis: Luthfi Hamdani
Dalam ekonomi, kita begitu lekat dengan konsep trade-off. Misalnya punya uang seribu, dalam satu kesempatan harus memilih dibelikan apel atau jeruk, ndak bisa keduanya. Sebab masing-masing berharga seribu.
Atau punya waktu empat tahun, pilih untuk kuliah (mbayar) atau full kerja (dibayar). Di tengah keterbatasan dan kelangkaan resource serta pilihan, kita diharuskan banyak menghitung, analisa dan membuat peramalan (forecast). Dari asumsi kondisi beginilah konsep manusia sebagai “homo economicus” lahir. Manusia yang dingin, kalkulatif, tujuan utamanya adalah pilihan paling menguntungkan (maximum profit oriented).
Ramai-ramai omnibus law CIPTAKER (CILAKA) ini tidak luput dari kondisi semacam ini, satu dipilih-satu dikorbankan. Tahun 2045 saat usia Indonesia 100 tahun, kita terancam punya kelebihan tenaga kerja (penduduk) usia produktif. Sedang ruang atau lapangan kerja masih terus kasak-kusuk, bingung apa dan bagaimana di tengah tantangan kemunculan berbagai kekuatan baru ekonomi global dan ancaman teknologi disruptif. Tanpa kerja, jutaan dari kita bakal berstatus “unemployment”, penganggur. Kondisi serius yang bisa berdampak sistematis. Bukan cuma urusan ekonomi, tapi sosial dan politik.
Dari situ, investasi (dari mana saja) dalam paham ekonomi Keynesian selalu dianggap satu cara menyelesaikan urusan ketenagakerjaan begini. Ada harapan dengan adanya investasi baru, tenaga kerja terserap, lalu terjadi proses produksi dan dampak menetes ke bawah (trickle down effect) dari ekonomi bisa dirasakan kelompok ekonomi kelas bawah. Walaupun dalam praktik banyak yang ‘mandhek’, ndak menetes sempurna. Banyak kasus dimana buruh menerima upah yang jauh dari nilai yang mereka hasilkan. Beban dan lingkungan kerja yang ndak beres. Tidak terjadi mekanisme “fair share” antar kedua pihak.
Belum lagi urusan lingkungan hidup. Industri ekstraktif dan penebangan kayu tentu bimbang “trade-off” juga. Keduanya tentu memberikan dampak bagi pertumbuhan ekonomi, namun buruk bagi lingkungan. Wilayah dengan tambang batu bara yang luas ternyata tak menjamin rendahnya tingkat kemiskinan. Riset JATAM (06/2019) menunjukkan, 80% dari seluruh wilayah tambang di Indonesia berisiko terhadap ketahanan pangan dan berujung pada kemiskinan. Anomali.
Selain menolak keras, tentu kita musti nyari alternatif sistem-model yang selain menguntungkan dari aspek bisnis, efisien dari biaya dan proses, menguntungkan bagi pekerja semua level, dan pastinya tidak memberikan dampak lebih buruk pada lingkungan hidup. Ini bakal jadi proses panjang.
Banyak orang telah mencoba nyari solusi terbaik untuk urusan ini. Kapan hari saya merampungkan membaca semua gagasan dan project yang dikembangkan suatu komunitas di situs web primer.commontransition.org. Mereka mengajukan banyak ide alternatif yang keren (dan mudah dipahami) untuk menjadi agenda aksi dari tujuan besar, yang mereka sebut sebagai transisi umum (common transtition).
Misalnya ada model ekonomi kolaborastif bernama “peer-to-peer” atau “people-to-people” (P2P). Atau juga konsep keren kooperativisme terbuka (open cooperativism). Ide ini mencoba mengeksplorasi (serta memadukan) konsep “produksi berbasis kepentingan umum” dengan asumsi besar “social and solidarity economy”.
Mereka juga mengkampanyekan slogan “Design global, Manufacture local” (DGML), bagian dari konsep berbagi ide dan desain produk manufaktur. Dalam satu kerangka kerja tujuan bernama “Distributed Manufacturing”.
Untuk berjalan beriring dengan kemajuan teknologi, mereka ngasih contoh beberapa start-up yang mewakili sistem dan model “open cooperativism”, misalnya Enspiral, Fairmondo, Sensorica, Mutual Aid Network, dsb. Secara umum yang ditawarkan menekankan pada solidaritas dan lokalitas.
Anda bisa membaca semua tawaran gagasan mereka. Lalu menilai sejauh mana konsep ini bisa sustainable jika berbenturan dengan paradigma dan sistem yang saat ini ada pun dominan. Start-up marketplace Fairmondo yang dijadikan contoh, sebagai gagasan koperasi digital dan global, gagasannya keren, tapi valuasinya tentu masih jauh banget dari Alibaba apalagi Amazon.
Tapi sebagai sikap praktis, omnibus law cilaka perlu dengan keras ditentang, sebelum semuanya kelewatan. Regulasi yang jelas dan tegas tentu tetap diperlukan supaya proses bisnis-ekonomi tidak merugikan pihak-pihak yang lemah seperti buruh, masyarakat adat-lokal dan tentu saja lingkungan hidup. Sebab disanalah peran sentral negara.