Sebagian kita mungkin merasa kehilangan suasana gembira bulan Ramadhan saat menjadi dewasa. Kegembiraan saat dibangunkan sahur oleh ibu, siang lesu di sekolah menunggu pulang, sore semangat lagi berangkat ke surau untuk mengaji, lalu berbuka dan tarawih dengan tadarus Al-Qur’an setelahnya. Tidak ketinggalan takbiran keliling membawa obor.
Sebabnya: Saat dewasa kita kehilangan kebebasan dan keleluasaan fisik dan psikis sejenis yang kita nikmati saat usia SD dan SMP dulu. Tanggungan dan beban profesional maupun “muamalah” (bisnis) bak menempel erat di pundak. Merenggut banyak suasana yang dulu bisa sepuasnya kita nikmati. Selain sebab Ramadhan jadi terasa rutinitas tahunan yang berulang kita jalani, seumur hidup.
Makna puasa (ash-shaum) secara bahasa adalah al-imsaak, berarti menahan atau mengekang dari sesuatu. Sedangkan dari terminologi (istilaah), ialah menahan diri dari makan, minum dan bersenggama, mulai terbit fajar sampai terbenam matahari, karena mengharap keridhaan Allah. (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373 hal. 143)
Baca juga: Kuliah bisnis digital terbaik di Solo Raya
Puasa, khususnya pada bulan Ramadhan, tentu bukan sekadar olah fisik. Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi menukil khabar dari Jabir, dari Anas, dari Rasulullah: “Lima perkara yang membatalkan puasa, yaitu berkata dusta, ghibah, namimah, sumpah palsu dan pandangan dengan syahwat”.
Merujuk hadist ini, Imam Ahmad menganggap ya batal keseluruhan puasa. Sedangkan menurut Imam Syafi’i perilaku tersebut hanya membatalkan pahala puasa, bukan dzat puasanya.
Lebih lanjut, dalam kitab “Maraaqil Ubudiyah” tersebut, Imam Nawawi mengajarkan cara meraih kesempurnaan puasa: menjaga mata dari pandangan yang diharamkan, menjaga lisan dari perkataan yang tidak berguna, menjaga telinga dari mendengar segala yang diharamkan, menjaga tubuh (tangan, kaki, dll) dari perkara yang buruk menurut syariat.
Puasa yang dijalankan dengan sempurna, akan dapat balasan pahala tidak terbatas. Juga terampuni dosa-dosa yang lampau maupun yang akan datang.
Pada akhirnya, dari puasa kita belajar menghambakan diri, menaham diri dari konsumsi yang ngawur, merawat tubuh dari “kehancuran”, dan bertanggungjawab atas pikiran, ucapan dan tindakan. Selama Ramadhan dan bulan-bulan setelahnya.
Penulis: Luthfi Hamdani