Penulis: Luthfi Hamdani
Menyaksikan ribuan korban perang di Gaza, Tepi Barat dan Jerusalem Palestina terasa begitu menyayat hati. Kerusakan rumah, rumah sakit, tempat ibadah, gudang makanan hingga 33 ribu korban jiwa dengan lebih dari separuhnya adalah anak-anak dan perempuan; membuat kita kehabisan air mata dan kata-kata.
Palestina jelas sedang tidak baik-baik saja. Kelaparan, serangan terhadap rumah sakit, serangan kepada pekerja kemanusiaan, pemboman tanpa pandang bulu, penghukuman kolektif kepada masyarakat sipil, hingga pembunuhan secara biadab — jelas melanggar hukum internasional. Kejadian yang bisa kita saksikan melalui @eye.on.palestine @middleeasteye atau akun-akun berita internasional dan unggahan warga Palestina.
Dunia tidak baik-baik saja. Ini belum lagi di waktu bersamaan 450.000 warga Ukraina dan Rusia tewas dalam perang dua tahun lebih. Juga ribuan penduduk Haiti yang harus jadi korban pemberontakan geng bersenjata. Kejadian yang dekat dari kita misalnya banjir di Demak, Kudus dan Jepara yang merendam puluhan ribu rumah dan menyebabkan kerugian ekonomi Triliunan rupiah.
Baca juga: Kuliah bisnis digital terbaik di Solo Raya
Dunia tidak (pernah) baik-baik saja. Di buku Hidup Wajib Bahagia (2020), saya mengutip buku The Lesson of History (1968) karya Will Durant dan Ariel; “Sejak 3.421 tahun yang silam, dalam perjalanan sejarah, hanya 286 tahun yang berlalu tanpa sama sekali ada peperangan”.
Perang, perusakan, pembunuhan tampaknya tidak pernah jauh dari peradaban manusia. Bahkan sejak generasi pertama. Ini juga kekhawatiran malaikat yang termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 30. Serta tampaknya akan terus terjadi sampai kelak kiamat.
Lantas bagaimana? Sejauh bisa kita upayakan, mencegah perang, pembunuhan, kemelaratan dan kerusakan adalah opsi paling baik. Dengan tenaga, pikiran dan ucapan; semua cara. Menyaksikan penganut agama Islam, Kristiani dan Yahudi hidup berdampingan secara damai mungkin utopis, tapi tidak mustahil.
Sementara penderitaan yang kita alami ataupun saksikan jelas semua ada hikmahnya. Syaikh Ibrahim al-Laqqani dalam kitab Jauhar at-Tauhid saat mengulas sifat jaiz (wenang) Allah mencontohkan penderitaan (sakit, dlsb) yang dialami anak-anak.
Secara logika, jelas mereka kelompok yang tidak berdosa dan harusnya dalam kondisi yang sempurna. Namun banyak yang harus mengalami penderitaan. Hikmahnya adalah itu kelak menjadi balasan pahala bagi kedua orangtuanya.
Imam Haramain dalam topik yang sama menuliskan: “Kondisi sulit (penderitaan dan beban) yang kita alami di dunia musti membawa kita pada syukur (dan kesabaran) sebab pada hakikatnya itu semua kenikmatan”. Di kemudian hari di dunia, atau kelak di akhirat.
Dunia tidak baik-baik saja, namun jelas segala musibah ada hikmah dibaliknya. Membekali diri dengan pemahaman bahwa dunia itu fana, serta keyakinan (aqidah) yang benar atas sifat Allah akan mempermudah bagi kita untuk memahami setiap fenomena.