Penulis: Luthfi Hamdani
Ramadhan menjadi bulan yang suci dan dimuliakan bagi umat islam di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan pada bulan tersebut Al-Qur’an diturunkan kepada nabi Muhammad. Sebuah kitab suci yang merupakan mu’jizat terbesar yang diterima umat manusia melalui sang nabi terakhir.
Sebulan penuh umat islam juga diwajibkan menjalankan puasa. Sebuah proses ibadah yang ditujukan mensucikan diri serta meningkatkan ketaqwaan dan diakhiri dengan membayar zakat fitrah. Zakat memiliki hikmah mensucikan harta dan mengandung misi sosial bagi saudara kita fakir, miskin, mualaf, orang yang terbelenggu hutang hingga mereka yang berjuang di jalan Allah; dalam pendidikan atau jihad fisik.
Di sisi lain, Ramadhan juga terbangun fenomena sosial-ekonomi yang unik bagi umat islam, khususnya di Indonesia. Menurut Campante dan Yanagizawa (2015), Ramadhan diketahui meningkatkan kebahagiaan masyarakat. Ramadhan dan lebaran menjadi momen untuk lebih terhubung dengan sanak keluarga, bersilaturrahmi dan saling memaafkan; serangkaian mekanisme sosial yang mendorong peningkatan kebahagiaan.
Baca juga: Kuliah bisnis digital terbaik di Solo Raya
Uniknya, berdasarkan laporan riset berjudul “TGM Ramadhan Insights in Indonesia 2024” Ramadhan bukan hanya tradisi keagamaan, namun juga tradisi budaya yang sudah begitu melekat di hati masyarakat Indonesia. Terlepas dari apapun agamanya. Semangat berkunjung, memperbaiki hubungan dan berbagi dalam tradisi Indonesia tidak sekadar eksklusif antar sesama umat muslim. Semangat kebersamaan ini jadi modal berharga bagi bangsa Indonesia.
Merujuk laporan Bank Indonesia (2023), Ramadhan adalah puncak likuiditas perekonomian ditandai dengan jumlah uang beredar antara 8.300 triliun pada periode tersebut. Naik 7,9 persen year on year (yoy). Adapun data dari Mandiri Spending Index (MSI) bulan Maret 2023 pengeluaran konsumen meningkat 136,4 persen, tertinggi sejak bulan Januari.
Bertambahnya peredaran uang ini yang selanjutnya meningkatkan angka infllasi. Dua faktor utamanya sebab ada sistem tunjangan hari raya (THR) dan dorongan agama untuk membayar zakat tadi mengharuskan umat muslim mengeluarkan harta kekayaannya yang selama setahun penuh mengendap (diam).
Beragam data makroekonomi tadi juga ditunjang beragam fenomena mikro yang bisa kita observasi setiap hari. Pelaku UMKM “dadakan” menjual beragam menu makanan dan minuman di area-area keramaian bahkan di pinggir-pinggir jalan. Restoran dan warung-warung yang dipenuhi orang-orang buka puasa bersama (bukber).
Pusat-pusat perbelanjaan dan toko ritel pakaian yang ramai pengunjung dan meningkat penjualannya, bahkan sebagian memenuhi 50 persen omset (revenue) tahunannya dari penjualan di bulan Ramadhan ini. Belum lagi pelaku usaha online yang berdasar data Google, naik dua kali lipat atau 58% dibanding bulan yang lain dan bahkan lebih tinggi dari Habolnas.
Survey dari Litbang Kompas pertengahan bulan April 2023 menunjukkan informasi alokasi anggaran lebaran masyarakat. Sebagian besar ditujukan untuk angpau ke sanak saudara. Disusul oleh kegiatan membeli makanan dan hidangan khas lebaran, membeli baju/sepatu baru, perjalanan pulang kampung dan berwisata bersama keluarga.
Perilaku belanja masyarakat untuk Ramadhan tahun ini lebih domian dilakukan secara offline (in stores), dibandingkan dengan berbelanja secara online. Mayoritas (40%) juga melakukan kegiatan belanja ada minggu pertama bulan Maret (sebelum masuk Ramadhan), disusul 39% masyarakat belanja pada periode selama bulan Maret (selama Ramadhan), sisanya melakukan kegiatan belanja jauh saat bulan Februari dan ketika hari Idul Fitri. (TGM Research, 2024)
Selanjutnya masih merujuk hasil riset TGM Research tersebut, mayoritas responden masih sangat meempertimbangkan harga, diskon, ragam opsi pengiriman produk dalam perilaku belanjanya. Disusul oleh faktor seperti penilaian (review) konsumen, pelayanan, ragam opsi pembayaran yang disediakan penjual hingga faktor suasana toko.
Memahami fenomena sosial dan ekonomi selama Ramadhan dan Idul Fitri ini menjadi hal yang penting bagi pemerintah hingga pelaku bisnis. Bagi pelaku bisnis yang baru, pola-pola konsumsi dan perubahan perilaku selama Ramadhan ini bisa menjadi referensi dalam mempersiapkan stok produk, mengelola materi pemasaran hingga dalam menetapkan strategi penentuan harga (pricing).
Sementara bagi masyarakat muslim, momen ini selain urgen untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan dan silaturrahmi, juga penting kedepan untuk terus meningkatkan kualitas pengeluaran dari anggaran belanja yang kita miliki.
Kontrol diri dalam belanja tentu tetap penting, agar terhindar dari pemborosan yang merupakan sikap tercela dalam agama. Juga belanja bukan diniatkan untuk pamer apalagi sombong, namun diniatkan lebih proporsinya untuk berbagi dan bersedekah; dimana niat baik ini penting agar aktifitas belanja kita tidak hanya bernilai duniawi tapi juga tabungan pahala untuk kehidupan akhirat.