Penulis: Luthfi Hamdani
Hari raya Idul Fitri merupakan suatu perayaan yang dilakukan umat Islam atas kemenangannya menahan diri dari makan dan minum serta menjauhi dari berbagai pekerjaan yang bisa mencederai pahala puasa Ramadhan sebulan penuh. Pada hari itu syariat Islam mengharamkan pemeluknya melakukan puasa.
Secara umum kata ‘Id’ (عيد) dalam Idul Fitri (tulisan baku: id al-Fitri ) berarti kembali, dari kata akar ‘aada (عاد). Juga bisa berarti kebiasaan, yang merupakan turunan kata al-Adah (العادة). Karena kaum muslim merayakan 1 Syawal sesuai dengan adat dan kebiasaan yang berbeda-beda. Sementara kata fitri (فطر) artinya makan, yang dimaksudkan dari kata afthara – yufthiru (أفطر – يفطر), yang artinya berbuka atau tidak lagi berpuasa. (Damayanti, 2020).
Dengan demikian, jika digabungkan, Idul Fitri berarti hari diizinkannya makan, atau kembali makan setelah berpuasa di bulan Ramadan. Namun sering juga Idul Fitri dimaknai sebagai kembali kepada ‘fitrah’ (فطرة) yang berarti suci. Ketika digabungkan akan menjadi Idul Fitrah.
Dalam sejarahnya, awal mula dilaksanakan hari raya Idul Fitri pada tahun ke-2 Hijriah. Saat itu bertepatan dengan kemenangan kaum Muslimin dalam perang badar. Kemenangan itu menjadi sejarah bahwa di balik perayaan Idul Fitri ada histeria dan perjuangan para sahabat untuk meraih kemenangan dan menjayakan Islam. Oleh karenanya, setelah kemenangan diraih umat Islam, secara tidak langsung mereka merayakan dua kemenangan, yaitu kemenangan atas dirinya yang telah berhasil berpuasa selama satu bulan, dan kemenangan dalam perang badar. (Sunnatullah, 2024)
Idul Fitri adalah momentum untuk menguatkan niat menggapai ridha Allah, karena dengan niat yang kuatlah yang dapat menghantarkan diri menuju iman dan taqwa-Nya. Hari kemenangan dan membahagiakan dalam bentuk silaturahmi dan bermaafan sehingga kembali kepada fitrah serta lebur; yaitu sirna segala kesalahan dan dosa.
Esensi hari raya idul fitri sebagaimana dituliskan oleh Syekh Sulaiman al-Bujairami, dalam Hasiyah al-Bujairami alal Khatib: “Allah swt menjadikan tiga hari raya di dunia untuk orang-orang yang beriman, yaitu, hari raya jum’at, hari raya Fitri, dan Idul Adha. Semua itu, (dianggap hari raya) setelah sempurnanya ibadah dan ketaatannya. Dan Idul Fitri bukanlah bagi orang yang menggunakan pakaian baru. Namun, bagi orang yang ketaatannya bertambah. Idul Fitri bukanlah bagi orang yang berpenampilan dengan pakaian dan kendaraan. Namun, Idul Fitri hanyalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni.”
Idul Fitri juga momentum untuk menjalin silaturrahmi. Silaturahim berasal dari gabungan dua kata dalam bahasa Arab; shilat (menyambung) dan al-rahim (rahim). Menurut Ibn al-Qayyim, rahmat adalah sifat yang memberikan dorongan kepada seseorang untuk memberi manfaat dan kemaslahatan kepada orang lain. Orang yang paling menyayangi Anda adalah yang mengantarkanmu kepada yang maslahat bagimu, dan menolak bahaya darimu. (Hanafi, 2022)
Dengan demikian, esensi silaturahim adalah menyambung hubungan dengan penuh kasih sayang kepada siapa saja yang dapat membawa dan mewujudkan kemaslahatan bersama. Terutama, kepada sesama saudara yang berasal dari satu rahim ibu.
Memaafkan serta meminta maaf kepada saudara, kerabat, kolega dan tetangga merupakan akhlak mulia, dan bahkan merupakan kesempurnaan iman, karena memaafkan merupakan prilaku yang sangat mulia namun berat jika nafsu kita tetap membelenggu, karena nafsu akan senantiasa membelenggu manusia mengalahkan akal serta relung hati yang mendalam.
Semangat persaudaraan dalam silaturrahmi inilah yang kemudian melahirkan ikatan cinta, kasih sayang, persatuan, kesetiakawanan, kedermawanan, tanggungjawab sosial, perlakuan baik, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Oleh karena itu Allah mengingatkan mereka agar selalu menjaga persatuan dan tidak bercerai berai, serta mensyukuri nikmat persaudaraan.