Penulis: Luthfi Hamdani
Kelompok masyarakat kelas menengah sedang hangat jadi perbincangan. Di koran, televisi, di podcast, media sosial Youtube dan Instagram. Adalah Chatib Basri, salah satu ekonom yang dominan mengangkat topik ini ke publik.
Merujuk definisi Bank Dunia, kelas menengah ialah kelompok masyarakat dengan pengeluaran pada kisaran 3,5 s.d 17 kali di atas garis kemiskinan. Kalkulasi pak Basri, siapapun yang punya pengeluaran 1,9 juta sampai 9,3 juta per bulan adalah kelas menengah.
Dengan definisi tersebut, kelas menengah jelas tumpuan hidup negara ini. Pikiran dan tenaga yang mereka gunakan untuk bekerja jadi motor dari beragam industri, pajak yang mereka bayar jadi bahan bakar “dapur” negara tetap mengebul, konsumsi atau pengeluaran dari gaji/pendapatan usaha yang mereka belanjakan menjaga pertumbuhan ekonomi.
Kelas menengah ini ya mayoritas dari kita; yang setiap hari bekerja jam 7 atau jam 8 sampai jam 5 sore. Berangkat dan pulang beradu cepat di jalan atau berdesakan di kendaraan umum. Juga kita yang setiap hari berpikir bagaimana supaya produk yang kita jual terus ada pembelinya.
Masalahnya kelompok ini tengah menghadapi situasi sulit. Maju kena mundur kena.! Lengah sedikit dalam bekerja atau bisnis, rentan turun jadi kelompok Aspiring Middle Class (AMC) yang hanya bisa “belanja” 825.000 s.d 1,9 juta perbulan. Lengah lagi sangat rentan turun jadi kelompok miskin, dengan pengeluaran 550.000 s.d 825.000 perbulan.
Kerentanan ini salah satu faktornya adalah masih lemahnya perlindungan sosial untuk kelompok kelas menengah. Tidak seperti yang diperoleh kelompok masyarakat miskin dengan beragam subsidi.
Fenomena yang terjadi juga menunjukkan kelas menengah sulit bergerak maju, mereka terjebak di tengah-tengah. Pekerjaan kelas menengah (middle class job) terus tergerus. Terutama di sektor manufaktur padat karya; misalnya terbaru tekstil dan Sepatu yang harus menutup pabrik dan bangkrut. Selain ada kecenderungan investor yang beralih ke sektor Sumber Daya Alam (SDA) yang padat modal, sebab kalah oleh ekonomi berbiaya tinggi. (Chatib Basri – Harian Kompas, 24/7/2024)
Industri digital yang terwakili oleh perusahaan start-up teknologi juga tidak baik-baik saja. Banyak yang melakukan efisiensi pegawai (PHK) atau bahkan telah bangkrut pula. Padahal beberapa tahun lalu, ini jadi primadona bagi kelas menengah. Disrupsi teknologi juga kedepan akan terus memangkas jumlah pekerja, khsusunya yang berterampilan rendah dan menengah.
Baca Juga: Buku Referensi Membangun Bisnis di Era Digital
Praktik korupsi, kolusi dan nepotisme jadi variabel yang merusak momentum kelas menengah. Secara moril, motivasi dan intelektualitas kelas menengah terus diuji oleh praktik bernegara yang culas, persekongkolan jahat dan praktik “orang dalam” untuk meraih keberhasilan. Masih menurut Basri, Keadilan dan demokrasi yang baik jadi aspirasi yang begitu melekat dengan kelas menengah.
Menjaga Asa Indonesia Emas 2045
Impian dan gagasan mengenai Indonesia Emas 2045 adalah Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap (MIT) dan menjadi negara berpendapatan tinggi (high
income country (HIC) sebelum tahun 2045 dengan memanfaatkan peluang bonus demografi yang akan berlangsung dalam kurun waktu 10-15 tahun ke depan. (Dartanto dan Can, 2023)
Berdasarkan ukuran Bank Dunia, Indonesia bisa berubah status menjadi negara berpendapatan tinggi (High Income Country/HIC) apabila Pendapatan Nasional Bruto (PNB) atau Gross National Income (GNI) per kapita kita sebesar 13.846 USD. Dengan kalkulasi kurs dolar terhadap rupiah sebesar Rp. 15.401,- (25/8/2024), maka nilainya setara dengan Rp. 213,2 juta pertahun dan Rp. 17,7 juta per bulan.
Nilai tersebut tampak masih begitu jauh dibandingkan dengan data pengeluaran kelas menengah dan calon kelas menengah (AMC). Padahal dari segi jumlah, kedua kelompok ini mendominasi dalam klasifikasi kelompok ekonomi nasional. Dimana pada tahun 2023 kelas menengah 17 persen, AMC sebesar 49 persen dan kelompok rentan sebesar 23 persen. Sisanya tentu kelompok kelas miskin dan kelas atas.
Suatu negara membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil, resilien danm berkelanjutan untuk bisa naik kelas menjadi UIC. Pertumbuhan ekonomi yang stabil, resilien dan berkelanjutkan membutuhkan kualitas sumber daya manusia unggul, stabilitas sosial dan politik, institusi yang inklusif serta faktor sosial budaya yang mendukung.
Selain syarat perlu, untuk menjadi negara berpendapatan tinggi dibutuhkan syarat cukup lainnya yaitu inovasi teknologi, infrastruktur yang baik, perdagangan internasional yang aktif, kebijakan ekonomi yang efektif dan hati-hati. Inovasi dan teknologi memungkinkan peningkatan produktivitas, sementara infrastruktur yang baik memfasilitasi pertumbuhan ekonomi. Keterlibatan dalam perdagangan internasional membantu meningkatkan pendapatan ekspor, dan kebijakan ekonomi yang efektif dan hati-hati mendukung stabilitas ekonomi. (Dartanto dan Can, 2023)
Selain beragam upaya struktural tersebut, tampaknya kewirausahaan juga perlu terus ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya. Kelompok kelas menengah notabene memiliki pendidikan yang cukup baik serta literasi keuangan dan teknologi yang cukup baik pula.
Modalitas tersebut bisa menjadi faktor krusial untuk memulai aktifitas kewirausahaan. Upaya untuk menghasilkan produk dan layanan yang bisa dijual di dalam negeri atau bahkan ekspor. Inovasi ialah proses menciptakan sesuatu yang baru adalah pusat dari proses kewirausahaan dan begitu dibutuhkan untuk menjadi negara maju.
Kewirausahaan dari kelas menengah juga diharapkan terus mendorong penciptaan pekerjaan. Dimana menurut Kementerian Koperasi dan UKM pada 2023, kontribusi UMKM mencapai 61% PDB Indonesia, dengan serapan tenaga kerja 97% dari total penyerapan tenaga kerja nasional. Jumlah pelaku usaha sektor UMKM tercatat 67 juta.
Perjalanan ke depan masih cukup panjang dan berliku untuk menuju Indonesia Emas 2045, namun perbaikan-perbaikan situasi bisa dimulai dari saat ini baik secara struktural oleh pemerintah maupun dari upaya individu kelompok kelas menengah.