Penulis: Mutia Citrawati Lestari
Pemberdayaan UKM dalam lanskap yang berubah dan kompetitif mau tidak mau memaksa UKM untuk menghadapi tantangan global, seperti meningkatkan inovasi produk dan layanan, pengembangan sumber daya manusia dan teknologi teknologi, serta memperluas cakupan pemasaran, termasuk pasar global melalui ekspor. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai jual UKM itu sendiri, terutama untuk dapat bersaing dengan produk asing yang semakin membanjiri industri dan manufaktur Indonesia (Sudaryanto, 2011). Untuk memberdayakan UKM lebih optimal dan komprehensif pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, yang diantaranya berperan sebagai regulasi dalam memfasilitasi ekspor UKM.
UKM di Indonesia bergerak dalam berbagai sektor usaha dan memiliki peran dan kontribusi dalam ekspor nonmigas, antara lain produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan industri pengolahan. Data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (KemenKop UKM) menunjukkan bahwa UKM di Indonesia dari tahun ke tahun semakin berkembang baik secara kuantitas maupun pangsa pasar, termasuk bisnis ekspor. Namun, UKM yang berorientasi ekspor juga menghadapi kendala finansial dan bisnis, jaringan bisnis dan teknologi. Selain itu, UKM juga menghadapi kesulitan dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan market demand yang berubah dengan cepat (Sidabutar, 2014).
Baca juga: Kuliah Bisnis Digital Terbaik di Surakarta
Secara umum, berikut adalah fakta mengenai minimnya ekspor produk UKM Indonesia yaitu :
- Sekitar 86% transaksi ekspor kategori non migas dikuasai oleh Usaha Besar. Padahal potensi UKM mempunyai peluang besar dalam transaksi ekspor sekitar USD 1.7 Milyar atau sekitar Rp 24 triliun.
- Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbanyak dan PDB (Pendapatan Domestik Bruto) terbesar di ASEAN, namun nilai ini berbanding terbalik dengan nilai ekspor khususnya dari UKM yang dihasilkan.
- Pangsa ekspor UKM Indonesia hanya 14,3%. Sementara itu, pangsa ekspor UKM ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Filipina (20%), Vietnam (21%), Thailand (29%) dan Singapura (6%).
Secara khusus, ada dua fokus utama potensi ekspor UKM Indonesia yaitu ekspor non migas sektor produk makanan minuman (UKM kopi) dan ekspor non migas sektor tekstil (UKM pakaian dan alas kaki) dengan penjelasan rinci sebagai berikut:
Ekspor Non Migas Kategori Produk Makanan Minuman (UKM Kopi)
Potensi ekspor kopi Indonesia sangatlah besar. Bahkan di tengah pandemi, sektor satu ini nyaris bisa dibilang tidak terpengaruh. Salah satu faktornya adalah tingginya konsumsi kopi, baik di dalam maupun di luar negeri. Dapat dilihat secara kasat mata coffee shop dengan beragam brand yang memiliki cabang dimana-mana, baik yang berada di dalam pusat perbelanjaan maupun memiliki toko sendiri di jalan raya besar. Namun, perkembangan ekspor kopi Indonesia saat ini tidak mencerminkan hal tersebut. Situasi ekspor kopi mengalami penurunan, terutama pada periode 2016 – 2021. Seiring pandemi Covid-19 yang sudah bisa dikendalikan, perlahan-lahan ekspor kopi Indonesia mulai kembali menunjukkan tren menggembirakan hingga bisa menembus Rp 1,48 triliun ekspor ke berbagai negara pada periode Januari hingga April 2022.
Bisa dilihat dari tabel 1, nilai ekspor produk kategori kopi, Indonesia masih berada pada peringkat 10 dari 11 negara pengekspor kopi terbesar di dunia. Dari data tersebut terlihat bahwa Brazil masih belum bergeser dari pengekspor kopi terbesar di dunia. Bahkan, beberapa negara yang bukan produsen kopi mampu mengalahkan ekspor Indonesia, seperti Swiss dan Italia. Memang, negara-negara maju ini menguasai industri penyangraian kopi dan proses pengolahan kopi lainnya.
Tabel 1. Daftar Negara-Negara Pengekspor Produk Kopi Dunia
Isu pertama terkait ekspor kopi adalah volume dan biaya produksi serta sertifikasi dibandingkan dengan negara produsen kopi lain seperti Brazil dan Vietnam. Seperti yang kita ketahui bersama, Brazil merupakan negara penghasil kopi terkemuka di dunia. Sedangkan Indonesia memiliki efisiensi produksi yang jauh lebih rendah dibandingkan para pesaingnya, karena 90% produksi produk kopi di Indonesia oleh petani skala kecil yang dipasarkan oleh UKM juga di bawah standar (Sahat, 2016). Kedua, dari segi kategori produk, kopi keluaran Indonesia hampir sama dengan Vietnam, terutama kopi Robusta. Hal ini berbeda dengan Brazil yang memproduksi kopi Arabika. Sementara itu, konsumsi kopi di dunia terutama di negara maju, sebagian besar adalah kopi Arabika. Selain itu, kopi arabika dikatakan sebagai jenis kopi menghasilkan kualitas kopi yang lebih baik. Meski demikian, kualitas kopi Robusta Indonesia diakui lebih unggul dari kopi Robusta Vietnam, namun hal itu belum membantu Indonesia mengalahkan ekspor kopi Vietnam.
Dari sudut pandang UKM, kinerja usaha petani kopi sebagai usaha kecil dan menengah memberikan kontribusi langsung terhadap laju pertumbuhan ekonomi, sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh Kirzner, Hausmann dan Rodrik, bahwa entrepreneur memainkan peran kunci dalam mendorong proses penemuan yang diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan dan keseimbangan pasar (Patrick, 2017). Sehingga potensi yang besar ini harus juga membawa perubahan dari dasar pelaku ekonomi yaitu para UKM di Indonesia untuk dapat bergerak memproduksi produk yang berskala ekspor.
Ekspor Non Migas Kategori Tekstil (Pakaian Dan Alas Kaki)
UKM Indonesia memiliki peluang terbesar di dua bidang, yaitu alas kaki dengan omset ekspor tahunan rata-rata US$4,6 miliar atau Rp67 triliun dan sektor pakaian dengan omset ekspor rata-rata tahunan US$4,1 miliar atau Rp59 triliun. Rata-rata total nilai ekspor kedua produk ini sebesar US$8,7 miliar atau Rp126 triliun. Dengan potensi tersebut, jika UKM ikut mengekspor 20% alas kaki dan pakaian, maka transaksi ekspor yang dapat dicapai oleh UKM per tahun sekitar US$1,62 miliar atau atau Rp23 triliun. Dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan ASEAN, Indonesia berpotensi menempati peringkat di bawah Vietnam dalam ekspor alas kaki dan pakaian.
Tabel 2. Daftar Negara ASEAN Pengekspor Produk Alas Kaki, 2016-2020
Permasalahan mengenai masih minimnya ekspor alas kaki dan pakaian di Indonesia juga tidak lepas kesepakatan kerjasama perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) pada tahun 2001. ACFTA merupakan kawasan perdagangan bebas antara anggota ASEAN dan China. Atas dasar perjanjian tersebut, negara-negara anggota perjanjian saling memberikan perlakuan istimewa dalam tiga bidang, yaitu, yaitu: bidang barang, jasa dan sektor investasi dengan tujuan untuk mendorong pesatnya pergerakan barang, jasa, dan investasi antar negara tetangga. ACFTA ini mengakibatkan banyaknya produk dari China yang masuk ke Indonesia, terutama pakaian dan alas kaki. Pasar domestik dikuasai oleh barang-barang buatan China karena harga yang murah dan desain yang beragam, sehingga produk dalam negeri cenderung tidak kompetitif. Namun sebenarnya, kesepakatan ini juga bisa menjadi peluang yang besar bagi Indonesia untuk juga mengekspor produknya ke negara ASEAN dan China jika berbagai masalah pengembangan UKM dalam negeri dapat diatasi terlebih dahulu (Andriani, 2015).
Selain dominasi usaha skala besar dalam kegiatan ekspor di Indonesia, dapat diketahui beberapa persoalan lain mengenai masih minimnya ekspor produk UKM sektor kopi dan tekstil (alas kaki dan pakaian) dilihat dari perkembangannya, yaitu sebagai berikut:
- Sumber Daya Produktif: UKM Indonesia khususnya produk kopi, pakaian, dan alas kaki masih menghadapi hambatan dalam mengakses sumberdaya produktif yang berstandar internasional. Tentu pemerintah telah mencoba memfasilitasi hal ini melalui PP Nomor 7 tahun 2021, akan tetapi akses terhadap sumberdaya produktif masih didominasi oleh usaha skala besar, sehingga UMKM untuk memasuki pasar ekspor masih terkendala.
- Adaptasi Produk: UKM di Indonesia masih minim dalam hal varian jenis produk yang berskala internasional. Di Indonesia, produk ekspor Indonesia hanya biji kopi mentah dengan standar khusus dan berkelanjutan karena proses pengolahan kopi (roasting) berkembang sangat cepat di negara maju (Eropa dan Amerika Serikat). Sedangkan untuk pakaian dan alas kaki, pasar telah banyak dikuasai oleh pasar China dengan produknya yang variatif dan harga murah. Hal ini didasari oleh kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA, sehingga fokus utama UKM Indonesia adalah meningkatkan kualitas dan daya tarik dari berbagai sisi lain bukan hanya dari mahal/murahnya harga barang.
- Kapasitas Produksi: Pembeli di pasar ekspor membutuhkan persyaratan yang ketat dalam berhubungan dengan eksportir. Pembeli di pasar ekspor juga fokus pada kontinuitas dan konsistensi ketersediaan produk. Dalam hal ini, tentu saja, perusahaan besar akan diuntungkan, karena ukuran usaha kecil dan menengah sering menghadapi kemampuan untuk memasok produk berdasarkan pesanan, yang mengarah pada tidak terpenuhinya kontrak. Menurut data Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kemendag, sejumlah faktor bersumber dari rendahnya kapasitas produksi UKM. Faktor-faktor tersebut adalah ketersediaan bahan baku dan tenaga kerja terampil.
- Dokumen Ekspor: UKM di Indonesia masih mengalami hambatan terutama hal yang berkaitan dengan sertifiksi produk, legalitas usaha, letter of credit dan lainnya. Hal ini disebabkan banyak hal, baik dari sisi UKM yang tidak mengurus dokumen atau dari arah pemerintah yang masih sulit akses pengurusan dokumen eksportir. Tentu saja yang dapat dilakukan adalah dengan adanya PP Nomor 7 tahun 2021 diharapkan menjadi acuan dalam menerapkan prosedur dan persyaratan yang mudah dan akses yang tidak menyulitkan UKM.
- Biaya Kegiatan Ekspor: Dalam kegiatan ekspor, biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit, hal ini juga menjadi hambatan bagi pelaku UKM. Hal ini juga menjadi penyebab turunnya daya ekspor produk UKM karena harga jual produk yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang mengekspor produk sejenis dari negara lain. Bukti nyata menunjukkan bahwa hambatan terbesar bagi UKM adalah biaya lain-lain (85,79%) berupa biaya informal, biaya lisensi (71,43%) dan jaminan produk sesuai pesanan (50%). Apabila hal ini terus dibiarkan terjadi, kegiatan eksportir produk UKM khususnya yang memiliki potensi besar seperti kopi, pakaian, dan alas kaki akan terus terhambat.
Program Kemenkop UKM mendorong UKM untuk lebih siap ekspor dengan memfasilitasi standardisasi internasional untuk UKM, pelatihan untuk UKM ekspor, pembiayaan ekspor, sistem informasi ekspor dan pameran internasional, serta kerjasama lainnya untuk meningkatkan ekspor. Perdagangan global saat ini juga telah mengalami transisi dari konvensional ke digital. Kondisi ini mendorong UKM untuk melakukan transisi pemasaran ke pasar internasional (Susilanssih, 2020).
Data lain menunjukkan bahwa pangsa UKM dalam ekspor nonmigas adalah 15,6%, sedangkan pangsa UKM dalam global chain value hanya 4,1%. Selain itu, kemitraan antara Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMK) dengan Usaha Besar Menengah (UMB) hanya 7%, begitupun dengan angka national entrepreneurship hanya sebesar 3,7%. Tingkat partisipasi digital UKM tetap di 16%. Angka-angka ini menunjukkan bahwa masih banyak peluang untuk pengembangan UKM di masa depan.
Market Intelligence
BUMN dapat menjadi agregator produk UKM sehingga kualitas, biaya logistik bisa diawasi dengan tata cara yang benar. Seperti yang kita ketahui bahwa dominasi eksportir Indonesia dikuasai oleh usaha skala besar, maka pemerintah melalui programnya juga dapat menawarkan insentif yang lebih besar dan menjamin nilai tukar yang menguntungkan bagi pengusaha untuk secara cepat mengubah devisa hasil ekspor menjadi rupiah.
Selain daripada itu, peningkatan kualitas UKM khususnya pada sektor makanan minuman dan tekstil juga harus berupaya meningkatkan kapasitas keuangan dan manajerial UKM, menciptakan jaringan pemasaran produk ekspor UKM, dan memperkuat promosi produk ekspor UKM. Intervensi pemerintah melalui kebijakan dan keselarasan yang signifikan dengan dunia usaha dan semua aspek fundamental bisnis harus ditangani terlebih dahulu oleh pemerintah. Potensi pasar yang besar ini akan berjalan apabila UKM yang memproduksi skala kecil mampu meningkatkan kualitas usaha itu sendiri terlebih dahulu, namun jika permasalahan fundamental ini masih belum bisa dibersihkan, maka akan tetap sulit bagi UKM untuk dapat bersaing. Maka dari itu, pendampingan berupa market inteligence bukan hanya program jangka pendek, melainkan jangka panjang.