Penulis: Luthfi Hamdani
Kita mungkin sudah sering dengar atau membaca pernyataan bahwa tingkat literasi bangsa kita ini rendah. Versi Program Asesmen Siswa Internasional (PISA) pada tahun 2019, kita bahkan ada di 10 terbawah dari 70 negara yang disurvey. Keprihatinan akan kondisi ini sebenarnya juga sudah banyak diutarakan oleh banyak tokoh, misalnya Najwa Shihab, Gita Wiryawan.
Jika ditarik mundur, literasi sebenarnya punya makna yang luas. Bisa berupa kemampuan memahami informasi, kemampuan berkomunikasi, ataupun kemampuan baca tulis. Literasi juga bermakna kedalaman pengetahuan seseorang terhadap suatu subjek ilmu pengetahuan.
Dari aspek kemampuan baca tulis, problem kita ini cukup panjang. Beberapa waktu lalu, sebuah opini di Koran Kompas menuturkan bahwa akses masyarakat terhadap buku masih terbatas. Keterbatasan ini bisa berupa rendahnya ketersediaan buku fisik maupun digital sebab mahalnya harga, konten yang kurang relevan, hingga kualitas buruk buku bajakan.
Sumber lain dari masalah literasi ini juga rendahnya pembiasaan atau budaya membaca dan menulis di lingkungan keluarga, masyarakat atau bahkan di sekolah dan perguruan tinggi – dua institusi yang harusnya jadi tempat terbaik bagi aktifitas membaca dan menulis.
Dalam rentang sejarah, buku maupun kitab menjadi media terbaik dalam proses transmisi keilmuan. Mengutip buku Rosenthal (1996), semua peradaban tinggi di dunia, termasuk peradaban pada masa kejayaan islam dibangun di atas fondasi peradaban tulis. Bukan semata peradaban lisan. Hingga saat ini, kita bersyukur bahwa kitab suci, sunnah-sunnah nabi, pemikiran (ijtihad) ulama-ulama mujtahid terdokumentasikan dalam bentuk tulisan.
Persoalan baca tulis ini ibarat proses ulat, kepompong, kupu-kupu. Orang tidak akan mampu menghasilkan tulisan (yang baik) tanpa banyak membaca. Dalam tradisi ilmiah, kita mengenal istilah seperti triangulasi sumber, referensi, sitasi – yang mana semuanya merujuk pada keharusan membaca sebanyak mungkin artikel maupun buku sebelum menyusun satu-dua paragraf.
Kemampuan literasi musti dibangun dengan banyak membaca tulisan, lalu membiasakan menuliskan dan komunikasi menggunakan tulisan-tulisan yang telah dibaca.