Penulis: Luthfi Hamdani
Beberapa media mengangkat “headline” terkait temuan sebanyak 7,2 juta warga Indonesia berstatus pengangguran. Lalu sebanyak 9,9 juta generasi muda (15-24 tahun) masuk kategori tidak bekerja, tidak menempuh pendidikan dan atau pelatihan (NEET). Jumlah ini hampir 23% dari populasi usia muda di Indonesia.
Keberadaan pengangguran yang tinggi jelas permasalahan serius. Pertama, jelas kita kehilangan produktivitas ekonomi. Generasi muda yang seharusnya mampir berkontribusi pada jutaan jam kerja dan jutaan produk berdaya saing jadi sia-sia. Selain Indonesia jelas kehilangan potensi pendapatan pajak dan konsumsi domestik sebab rendahnya daya beli (Mulyana, 2024).
Penyebabnya klise. Masalah ini muncul sebab serapan kerja perusahaan (investasi baru) di Indonesia yang rendah, ketidak sesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan industri, perkembangan teknologi, perubahan karakter dan aspirasi generasi muda terhadap pekerjaan, hingga yang terbaru kenaikan drastis biaya kuliah.
Baca juga: Kuliah jurusan Bisnis Digital terbaik di Solo Raya
Keterserapan kerja yang rendah jelas sudah terdeteksi sejak lama. Salah satunya sebab gejala deindustrialisasi dini. Ini adalah kondisi saat ekonomi kita sebagai negara berkembang melompat ke ekonomi jasa tanpa mengalami industrialisasi secara memadai (Brata, 2021).
Sektor manufaktur atau penghasil barang tentu krusial dan dominan perannya dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut Basri (2023), peran strategis industri manufaktur ini di antaranya: meningkatkan nilai tambah dan produktivitas, memperluas sektor kerja formal dan menggerus pekerja informal, memperluas basis perolehan pajak, dan peningkatan ekspor.
Lalu yang juga krusial, menurut Haatiadi (2021) ialah sektor manufaktur menyerap tenaga kerja yang jauh lebih besar dari sektor jasa yang butuh skil tinggi (misalnya di bidang IT) atau sektor informal lain yang cenderung rendah produktivitas dan kesejahteraannya.
Gejala deindustrialisasi sudah tercium sejak tahun 1997. Data BPS juga menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur selalu berada di bawah pertumbuhan GDP sejak tahun 2005 hingga tahun 2023.
Pun sektor industri manufaktur semakin rendah diversifikasinya. Dari 18,9% kontribusi manufaktur terhadap GDP tahun 2023, 1,9% merupakan sub sektor migas. Di luar subsektor migas, yang berkontribusi besar adalah produk olahan makanan dan minuman (6,3%), kimia dan farmasi (1,8%), dan seterusnya komputer, perlengkapan transportasi, tekstil, produk olahan besi, produk tembakau dlsb.
Jika mengikuti riwayat Jepang, Korea Selatan, hingga China, jelas sektor manufaktur adalah harapan agar kita bisa keluar dari jebakan negara kelas menengah. Supaya terhindar dari status “tua sebelum kaya”, dengan estimasi pertumbuhan ekonomi perkapita minimal 8-9%.
Di sisi lain kita dihadapkan pada tren maraknya praktik Gig Economy. Ini adalah tren pekerjaan dimana pekerja punya otonomi memilih dipekerjakan oleh siapa, seberapa tanggung jawab yang bersedia ditanggung, bebas menetapkan jam kerja hingga upaya mengejar work life balance.
Praktiknya seperti pengemudi rideshare, manajer proyek, fotografer, penulis, pembuat konten, konsultan independen, pekerja seni/kreatif, akuntan, digital marketer, hingga layanan panggilan (Prathama dan Yustika, 23: 2021). Seluruhnya cenderung masuk kategori sektor informal.
Problem mendasar lain adalah sikap dan karakter generasi muda kita. Tanpa tendensi apapun, saya seringkali menyimak keluhan HRD perusahaan di aplikasi Twitter (X) maupun di LinkedIn terkait mindset dan karakter generasi muda terhadap dunia kerja.
Misalnya membatalkan jadwal interview sesuka hati, menghilang setelah kerja hanya sekian hari, atau menolak mendapat pekerjaan dengan effort yang lebih. Ini juga yang saya sebagai pribadi alami, zaman serba mudah membuat resiliensi (ketangguhan) kita menurun.
Pengangguran jelas masalah laten bagi ekonomi negara manapun. Namun jumlah generasi muda yang tidak bekerja, melanjutkan pendidikan tinggi dan pelatihan yang 10 jutaan itu jelas masalah lebih besar lagi.
Di tengah upaya kita mencapai Indonesia Emas 2045, masalah ini berpotensi jadi batu sandungan yang menyebabkan mimpi indah tersebut gagal total.