Penulis: Luthfi Hamdani
Rame-rame di media sosial berdebat masalah nasab ini semakin hari tambah “nggilani”. Ada satu kelompok berbangga-bangga dengan klaim keturunan nabi jalur A, satu kelompok lagi dari jalur B. Satu lagi jelas orang-orang biasa, bukan dari jalur keturunan pembesar-pembesar.
Diskusi ini sebenarnya bisa saja jadi menarik selagi dilaksanakan dalam koridor ilmiah, mengecek keabsahan dan validitas klaim masing-masing dari dokumen-dokumen (khususnya kitab) yang ditulis sepanjang periode rantai keturunannya.
Lalu jikalaupun benar keturunan (dzurriyah) bukan “ahlu bait” nabi, toh juga tidak seketika menghilangkan atau membedakan taklif syar’i dan status sama dengan manusia lain sebagai hamba Tuhan. Kemuliaan mereka ya seharusnya berdasar ilmu, akhlak, ketaqwaan dan kontribusi terhadap kehidupan masayarakat dan bangsa.
Tapi jika ditarik lebih jauh, kenapa orang-orang mau ribut-ribut masalah nasab ini ya karena kondisi budaya dan alam pikiran masyarakat kita juga. Bukan cuma keturunan nabi, keturunan tokoh-tokoh nasional juga memanfaatkannya.
Biasa dan lumrah kita jumpai kandidat dalam pemilihan umum menuliskan “putra bapak A”, cucu proklamator, generasi ke-sekian keraton C, anak kyai Fulan dan lain sebagainya. Yups, di masyarakat yang erat sekali relasi patron-klien, faktor nasab ini jadi modalitas luar biasa untuk meraih tangga kesuksesan.
Eksklusifitas kelompok (atau dalam posisi ekstrem berupa kasta) ini juga yang menjadi tantangan serta “barrier” untuk menciptakan inklusifitas sosial dan ekonomi. Struktur sosial yang diawetkan lewat garis keturunan ini salah satu yang bikin konsentrasi penguasaan sumberdaya sosial ekonomi. Jadilah ketimpangan kita awet.
Anak-anak yang lahir dari keturunan orang-orang biasa, bakal semakin sulit meningkatkan standar hidup. Selain karena konsumsi nutrisi yang tidak cukup, pendidikan sejak dini yang biasa-biasa juga, ditambah kampanye yang melekat pada pikiran dan mentalitas bahwa derajat tertinggi (maksimal) yang bisa mereka raih ya untuk sekadar jadi “klien” dari “patron-patron” kelompok dengan garis keturunan yang baik.
Belum lagi sederet problem seperti akses serta inklusi pendidikan tinggi, permodalan usaha, jaring pengaman sosial, dan lain-lain.
Sehingga, saya yakin dibalik upaya menjaga validitas garis keturunan sejenis ribut-ribut saat ini, ada motif-motif sosial struktural di belakangnya. Juga, dampak buruk yang munkin tidak disadari berupa merendahkan martabat serta menjadi “barrier” optomalisasi diri manusia lain yang dari keturunan biasa, bukan siapa-siapa.