Penulis: Luthfi Hamdani
Beberapa hari terakhir ramai diulas negara kita sebagai “fatherless country”. Dengan kata lain, kita ini negara yang punya keadaan atau kecenderungan dalam masyarakat berupa tidak adanya peran dan keterlibatan figur ayah secara signifikan dan hangat dalam kehidupan sehari-hari seorang anak di rumah.
Di sebuah artikel, diulas bahwa kondisi ini bisa berakibat pada rendahnya harga diri anak, anak tumbuh dengan kondisi psikologis yang tidak matang (kekanak-kanakan), tidak mandiri, kesulitan menetapkan identitas seksual (cenderung feminin atau hypermasculin), kesulitan dalam belajar, kurang bisa mengambil keputusan, dlsb.
Akar masalahnya bisa dari kultur patrilineal di masyarakat atau juga dari kesadaran individu kita. Laki-laki atau bapak diposisikan untuk kerja, kerja, cuan, cari uang. Peran ini dalam realita memang tidak pernah mudah. Melelahkan secara fisik dan mental, pada kondisi ekstrem bisa mengarah pada burn-out dan stres, juga mungkin satu dua kecelakaan kerja yang berdampak pada fisik.
Delapan sampai sepuluh jam perhari (mungkin lebih) untuk kerja dan bisnis, seringkali mendorong seorang bapak ingin santai saja saat di rumah. Tiduran, nonton TV, melakukan hal-hal yang menyenangkan.
Sedangkan berinteraksi (bermain, ngobrol, mengganti popok, menyuapi, menenangkan saat nangis) dengan anak seringkali juga melelahkan. Butuh energi khusus untuk ini. Butuh tenaga dan kreatifitas (berpikir mencari ide permainan baru, lelucon baru, tantangan baru untuk melatih bicara, kemandirian, dll).
Tapi harusnya ketika punya anak, kita semua berangkat dari kesadaran bahwa kondisi-kondisi buruk yang menimpa anak kita sebab kurangnya peran bapak (fatherless) jelas salah kita.! Mereka tidak pernah salah (setidaknya sampai kelak aqil baligh, kena taklif).
Kondisi yang lebih buruk tentu banyak. Sebab banyak juga yang kurang (atau bahkan tidak punya) inisiatif untuk hadir bagi anaknya. Menyerahkan semua urusan merawat dan mendidik anak pada istri atau baby sitter (bagi sebagian yang beruntung).
Laporan “fatherless” ini harus jadi motivasi untuk berbuat dan memberi lebih. Di masa emas tumbuhnya pun hingga kelak dewasa. Sepanjang usia kita.