Penulis: Luthfi Hamdani
Setelah hampir tiga tahun menjalankan bisnis (hustle) @indonesiaimaji dan diskusi dengan mahasiswa tentang kewirausahaan serta manajemen bisnis, akhirnya saya sampai pada kesimpulan bahwa tidak semua orang cocok jadi wirausahawan. Lebih tepatnya, hanya bakal ada sangat sedikit orang yang layak jadi wirausahawan atau pebisnis.
Pengalaman ini mengonfirmasi data kementerian perindustrian bahwa Indonesia hanya punya 3,47% wirausahawan dari total jumlah penduduk. Juga mengonfirmasi informasi yang menyatakan angka kesempatan kerja di Indonesia masih relatif rendah dibanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk (angkatan kerja). Yups, tanpa ada semakin banyak orang yang melakukan investasi (memulai menjadi wirausahawan), angka kesempatan kerja ini tidak akan meningkat.
Lalu kenapa tidak banyak yang mau juga tidak cocok jadi wirausahawan? Jawabannya karena tidak semua orang punya minat, bakat, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha sukses. Selain itu, faktor seperti dukungan modal, ekosistem komunitas, pasar yang sudah jenuh dan sulit diakses produk baru, regulasi juga jadi momok yang menyeramkan.
Sejauh pengalaman di kelas, ketika sesi “brainstorming” memunculkan ide bisnis, mayoritas yang diajukan teman-teman mahasiswa adalah bisnis food and beverages; khususnya jajanan dan minuman seperti es teh dan sejenisnya. Tidak cukup banyak yang berani memunculkan ide yang benar-benar unik. Ini mengonfirmasi penelitian saya tahun 2022 bahwa pengalaman terdahulu jadi salah satu variabel kunci yang menentukan niat melakukan wirausaha. Padahal produk sejenis tersebut sudah sangat jenuh pasarnya.
Itu baru dari ide. Masalah lain yang paling sering muncul adalah modal, lebih tepatnya dana. Tidak cukup banyak di antara kita yang punya privilege untuk memperoleh pendanaan internal (dari uang sendiri atau dari keluarga) untuk memulai usaha. Sedangkan di fase awal ini jelas lembaga keuangan bank maupun non-bank pasti belum bisa diakses.
Sebagian yang punya sedikit modal, hasil nabung selama sekolah atau kerja, juga tidak cukup keberanian menginvestasikan dananya untuk bisnis. Jelas, sebab resiko bangkrut terus menghantui dan bisa berujung pada financial suicide (bunuh diri finansial). Pertanyaan yang sering muncul: “Dengan nominal modal yang tersedia, mampu bertahan berapa lama menutup beban-beban usaha di fase awal, tanpa revenue?” Besar harapan program inklusi keuangan dari pemerintah bisa sedikit mengatasi aspek yang ini.
Satu lagi. Jualan (selling) tidak pernah semudah yang dibayangkan. Banyak yang gagal menjual gara-gara malu, banyak juga yang gagal sebab tidak tahu step by step-nya. Banyak yang tidak berani mempresentasikan dan mendemonstrasikan produk di hadapan khalayak ramai.
Banyak lagi yang bahkan untuk personal selling, bertemu satu lawan satu dengan pembeli potensialnya mati gaya, tidak bisa negosiasi, tidak menguasai product knowledge dengan baik. Sedangkan kita tahu, gak akan ada bisnis tanpa jualan.
Perkembangan digital marketing dan digital selling bisa mengakomodir kondisi ini, namun dengan syarat si wirausahawan musti upgrade pengetahuan dan keterampilan di tengah tren teknologi yang terus berubah.