Penulis: Luthfi Hamdani
Mungkin salah satu jawabannya adalah untuk menjaga kelanggengannya butuh usaha-usaha yang super ekstra. Upaya lahir dan batin, fisik dan mental.
Pasangan perlu bekerja keras (ikhtiar) lahir untuk memenuhi kebutuhan fisiologis (makan-minum-kebutuhan dasar).
Pasangan juga butuh “membunuh egonya” untuk menerima kekurangan satu sama lain, bermufakat pada opsi yang bukan dari kepala kita, bahkan harus lapang dada menerima dampak dari “variabel eksternal” berupa keluarga, lingkungan kerja maupun teman pasangan kita.
Menikah dalam islam juga diistilahkan sebagai perjanjian yang agung (mitsaqan ghalidza). Bukan akad atau perjanjian main-main. Tapi satu komitmen yang musti dijaga saat hidup, dan terus berlangsung manfaatnya kelak saat mati lewat doa anak dan cucu. Perjanjian untuk saling mengisi dalam lapang maupun sempit….
…. dalam kebahagiaan maupun kesedihan, saat masih segar bugar atau sakit. Kejelasan status dan komitmen kebersamaan dalam keluarga ini yang menjadi salah satu tujuan utama adanya agama untuk umat manusia (maqashid syariah), yaitu menjaga keturunan (hifdzul al-nasl).
Sebelum menikah, tanyakan pada diri benar-benar siapkah secara mental, kesediaan untuk ikhtiar bekerja, untuk menerima orang baru dalam pikiran dan segala aktifitas harian kita. Setelah menikah, menjaga komitmen agar kualitas hubungan semakin baik, dari tahun ke tahun.