Seorang ekonom senior, Faisal Basri, pernah bikin anekdot. Faktor keberhasilan pertumbuhan ekonomi suatu negara bisa disebabkan dua hal: sebab kebijakan yang bagus (good policy) atau keberuntungan yang lagi baik (good luck).
Semua jenis organisasi termasuk negara, idealnya dijalankan dengan kebijakan yang oke. Kebijakan yang unggul menurut Riant Nugroho (2017; 841), yaitu: cerdas, bijaksana dan memberikan harapan.
Namun, dalam kondisi riil, begitu banyak organisasi dikelola dengan kebijakan yang disusun asal-asalan, didasarkan pada analogi-analogi, informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan atau bahkan berdasar intuisi. Sudah dibuat dengan asal, dilaksanakan dengan lebih gak masuk akal.
Pada kajian kebijakan publik di buku Nugroho tsb, ada anekdot juga bilang: Tidak ada negara yang gagal, yang ada adalah kegagalan kebijakan publik.
Baca juga: Kuliah bisnis digital terbaik di Solo Raya
Kebijakan yang harusnya jadi solusi seringkali justru menjadi masalah. Yang harusnya bertugas “carrying capacity” justru jadi “obstacle” yang membuat kapasitas dari sumberdaya yang dikelola organisasi tidak dapat dioptimalkan. Bahkan menjadi beban dan ‘kutukan’ bagi organisasi.
Dalam situasi sejenis ini, satu-satunya yang bisa diharapkan untuk berhasil adalah faktor keberuntungan (luck) tadi. Keberuntungan jelas ada dan begitu dekat dengan kita. Tapi ia muncul dari proses yang tidak bisa ditebak, untung-untungan, spekulatif.
Faisal Basri menganalisa ada periode-periode tertentu dimana ekonomi nasional tumbuh, bukan hasil dari kebijakan yang oke tapi sebab tiba-tiba ada kejadian internal maupun eksternal yang ibarat “durian runtuh”.
Tapi sialnya, banyak dari kita alih-alih menyusun kebijakan yang rasional, terukur, cerdas, memberi harapan namun malah menjebak diri berpacu adrenalin menyelam dalam ketidakpastian, berharap terus dapat keberuntungan (luck).
Penulis: Luthfi Hamdani