Penulis: T.H. Hari Sucahyo*
Pakaian adalah artefak budaya. Ia lebih dari sekadar penutup tubuh atau tren musiman; ia mencerminkan relasi manusia dengan identitas, kelas sosial, bahkan alam.
Namun di era kapitalisme lanjut, makna pakaian mengalami degradasi. Mode berubah menjadi bahasa visual instan yang mengukuhkan eksistensi lewat konsumsi, bukan lagi perpanjangan nilai, melainkan perpanjangan nafsu pasar. Di tengah krisis iklim yang kian genting, relasi ini patut ditinjau ulang.
Industri mode global saat ini menyumbang sekitar 10% emisi karbon dunia, lebih dari emisi gabungan penerbangan internasional dan pelayaran. Ia juga menjadi penyumbang limbah tekstil terbesar dengan produksi tahunan mencapai 92 juta ton.
Di sisi lain, sistem produksi fast fashion menyaratkan ritme produksi super cepat, tenaga kerja murah, dan material sintetis berbahan dasar minyak bumi.
Setiap kali konsumen membeli pakaian murah yang hanya bertahan beberapa kali pakai, mereka sejatinya sedang mengamini struktur eksploitasi multidimensi terhadap manusia, terhadap lingkungan, dan terhadap makna itu sendiri.
Inilah paradoks besar dunia mode modern: di balik citra glamor dan estetika visual yang dikurasi dengan apik, tersembunyi jejak-jejak penderitaan dan kerusakan ekologis.
Pakaian, yang seharusnya bersifat personal dan bermakna, kini ditransformasikan menjadi komoditas massal tanpa jejak historis atau etis.
Baca Juga: Toko Online Belanja Buku Terbaik di Shopee
Konsumsi menjadi semakin impulsif karena mode diproduksi untuk dilupakan, bukan untuk dikenang. Namun, seperti setiap krisis, ini juga membuka kemungkinan.
Gelombang kesadaran baru muncul melalui gerakan mode berkelanjutan (sustainable fashion), yang tidak hanya menawarkan alternatif bahan dan proses produksi yang ramah lingkungan, tetapi juga mengajak konsumen untuk menumbuhkan etika dalam memilih, memakai, dan merawat pakaian.
Di sinilah mode tak hanya menjadi medium ekspresi, tetapi juga medium perlawanan terhadap ekses modernitas. Mode berkelanjutan beroperasi di atas tiga fondasi: lingkungan, sosial, dan budaya.
Dari sisi lingkungan, ia menuntut material yang tidak merusak bumi, seperti katun organik, serat bambu, atau daur ulang tekstil.
Dari sisi sosial, ia menolak upah murah dan kondisi kerja tak manusiawi, mendorong produksi transparan dan adil.
Dan dari sisi budaya, ia mengembalikan martabat lokalitas dengan menghargai kerajinan tangan, warisan tekstil tradisional, dan narasi komunitas.
Sayangnya, narasi mode berkelanjutan seringkali masih eksklusif. Ia diproduksi oleh dan untuk kelas menengah terdidik yang mampu membeli baju “eco-label”.
Padahal, dalam banyak kebudayaan tradisional di Asia, termasuk Indonesia, nilai-nilai berkelanjutan telah lama tertanam.
Kita mengenal filosofi pakaian yang tidak berlebihan, diwariskan lintas generasi, dan dibuat dengan tangan yang mengenal alam.
Tenun ikat, batik tulis, songket, dan ulos bukan hanya produk estetis, melainkan cermin relasi spiritual antara manusia dan alam. Tantangannya bukan pada nilai, melainkan pada struktur pasar global yang mendesak lokalitas agar tunduk pada logika cepat dan murah.
Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin gerakan ini, bukan dengan meniru model barat, melainkan dengan membangkitkan kembali etos keberlanjutan lokal yang telah lama terlupakan.
Pemerintah bisa mendorong regulasi insentif terhadap produsen kecil berbasis komunitas. Institusi pendidikan bisa mengintegrasikan filosofi keberlanjutan dalam desain dan tekstil.
Dan media punya peran penting dalam membentuk imajinasi baru tentang gaya: bahwa keberlanjutan itu menarik, bukan membosankan; bahwa gaya tidak harus merusak. Namun pada akhirnya, perubahan tak mungkin hanya datang dari hulu.
Konsumen kita semua adalah aktor kunci dalam rantai keberlanjutan. Etika konsumsi bukan lagi wacana moral belaka, tetapi tuntutan ekologis.

Menolak belanja impulsif, memilih barang preloved, memperbaiki pakaian lama, atau mendukung produsen lokal adalah tindakan kecil yang jika dikolektifkan akan menjadi daya dobrak struktural.
Dalam pilihan sehari-hari, kita sedang menentukan bentuk masa depan: apakah mode akan terus menjadi mesin kerusakan atau menjadi jalan menuju perbaikan.
Lebih dalam lagi, kita harus merenungi kembali filosofi berpakaian. Mode yang berkelanjutan bukan hanya soal bagaimana pakaian diproduksi, tetapi juga bagaimana kita memaknainya.
Apakah kita melihat pakaian sebagai bagian dari relasi ekologis yang utuh? Atau sekadar pelindung ego di ruang sosial?
Pertanyaan ini membawa kita pada refleksi spiritual: bahwa dalam setiap benda yang kita kenakan, ada energi dari tanah, air, dan manusia.
Bahwa berpakaian adalah tindakan sakral yang menuntut kesadaran.
Kita hidup di zaman ketika pilihan estetika harus bersanding dengan pilihan etis. Menjadi stylish kini bukan lagi soal mengikuti tren, tetapi soal keberanian untuk tidak tunduk pada logika destruktif.
Dan mode, jika diarahkan dengan visi yang benar, justru bisa menjadi bahasa revolusi yang lembut, yang mengubah bukan hanya lemari, tapi juga dunia.
Pada akhirnya, kain memang bisa bicara. Ia menyimpan kisah tentang siapa yang membuatnya, dari mana asalnya, dan ke mana ia akan berakhir.
Mendengarkan kain berarti mendengarkan bumi, dan mengambil tanggung jawab atas jejak yang kita tinggalkan.
Mungkin inilah saatnya kita belajar membaca ulang makna gaya, dengan telinga yang lebih peka, hati yang lebih jernih, dan komitmen yang lebih dalam terhadap kehidupan bersama.
_________
* Penggagas Forum Kajian Keutuhan Ciptaan (FKKC) “SEMESTA”
Instagram: har1scyhebat