Penulis: Luthfi Hamdani
Empat bulan terakhir kita menyaksikan tragedi kemanusiaan di Gaza juga Tepi Barat (West Bank) Palestina. Foto dan video mengerikan, menyayat hati dan seringkali membuat perut serta dada kita terasa penuh. Warga sipil, termasuk anak-anak dan lansia, berlarian di jalan-jalan dengan bangunan yang hancur lebur, diiringi tangis, keputusasaan dan ketakutan.
Beruntung sebagian masih bisa bertahan hidup, namun dengan beban trauma psikologis yang mungkin tidak akan sembuh seumur hidup. Tujuh puluhan ribu korban luka berat kehilangan tangan, kaki, penglihatan, terbakar, kepala berdarah-darah, kulit terkelupas. Sebagian lagi meregang nyawa di bawah reruntuhan bangunan, dieksekusi mati dari jarak dekat, ditembak dari tank tempur penjajah saat berlindung di sekolah, tempat pengungsian bahkan tempat ibadah. Via akun Instagram @eye.on.palestine
Menyaksikan semua kengerian ini terjadi membuat kita muak, marah besar, namun juga depresi sebab tidak bisa melakukan banyak hal. Juga kebingungan saat mencoba berpikir keras mengikuti logika-logika pembenaran dan pembelaan dari pendukung penjajah Zionis yang sama sekali tidak masuk akal.
Saya lalu membaca buku Rashid Khalidi (2021), berjudul “The Hundred Years War on Palestine”. Khalidi yang seorang sejarawan Amerika, mendeskripsikan apa yang terjadi pada negara Palestina sejak tahun 1901-an sampai saat ini adalah manifestasi dari penjajahan (is a very particular colonial project).
Rangkaian peristiwa terjadi, beberapa yang besar adalah Deklarasi Balfour pada tahun 1917, perang revolusi Arab seiring dengan kedatangan pengungsi/imigran Yahudi ke Palestina tahun 1936-1939 setelah mereka dipersekusi rezim Nazi Jerman. Serta puluhan kejadian perampasan property dan agresi bersenjata setelahnya. Jadi salah besar jika mengira bahwa ketertindasan warga Palestina hanya dimulai sejak bulan Oktober tahun 2023 lalu.
Hingga saat ini, Zionist Israel terus mendengungkan beberapa alasan bahwa mereka berhak ada di tanah Palestina, yaitu: bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan Tuhan (God-given homeland) bagi bangsa mereka, meromantisir status sebagai korban persekusi dan holocaust di berbagai wilayah Eropa, serta mengangkat berbagai rekayasa sosial berupa literatur-literatur yang menyatakan bahwa Palestina adalah wilayah tandus, kosong tidak bepernghuni dan terbelakang. Khalidi menulis bahwa Zionis Israel menuduh Palestina semula hanya dihuni komunitas yang tidak punya akar sejarah dan misalnya kelompok Bedouin yang nomaden.
Situasi penjajahan yang dulu pernah dialami negara seperti Indonesia, negara-negara Asia Tenggara, negara-negara Afrika adalah yang saat ini terjadi di Palestina. Hak bangsa Palestina atas tanah dan kekayaan serta hidup yang aman dan bermartabat harus terus kita dukung dan suarakan.
Israel bukan negara, tapi sekadar entitas pemukim-penjajah. Maka penjajahan, kekejian dan pendudukan Zionis Israel apapun alasannya; harus digulingkan.
Hasbunallah wa ni’ma al-wakil, ni’mal maula wa ni’man al-nashir.