Penulis: M Nadzirummubin
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi perhatian khusus pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan sosial dan ekonomi pedesaan. Untuk mendorong perkembangan BUMDes pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2021 tentang BUMDes sebagai turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja, yang mengubah status BUMDes menjadi Badan Hukum.
Dengan status badan hukum, BUMDes menjadi lebih fleksibel dalam mengelola aktifitas usahanya, karena status badan hukum membuat BUMDes lebih mudah mendapatkan akses permodalan, dapat mendirikan Perseroan Terbatas (PT) maupun Perseroan Komanditer (CV), serta koperasi bagi masyarakat desa yang ingin membangun usaha. Mengingat, BUMDes dengan segala aktivitasnya memang menyerap tenaga kerja masyarakat desa.
Pendirian BUMDes di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pendirian BUMDes sendiri bertujuan untuk menggali dan mengoptimalkan potensi usaha pedesaan berdasarkan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, BUMDes semakin didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 yang menyatakan bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengelola BUMDes (Kania et al, 2020). Pemerintah kembali menegaskan komitmennya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi pedesaan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 yang mengubah status BUMDes menjadi badan hukum.
Berbicara BUMDes tentu tidak lepas dari pembahasan bentuk usaha berbasis masyarakat. Secara karakteristik BUMDes mirip dengan social enterprise (SE) dan community based-enterprise (CBE) (Arifin et al, 2020). Cordes dan Steuerle (2009) menjelaskan, berbeda dengan bisnis tradisional dan bisnis nirlaba, SE menggabungkan tujuan sosial, orientasi pasar, dan standar kinerja keuangan bisnis (Soviana, 2015). Sedangkan CBE didefinisikan oleh Paredo dan Chrisman (2006) sebagai komunitas yang tidak sengaja dibentuk untuk tujuan produksi atau pencapaian tujuan tertentu oleh kumpulan orang dari berbagai lokasi geografis, kolektif budaya/etnis, dan karakteristik relasional lainnya.
Baca juga: Kuliah Bisnis Digital Terbaik di Surakarta
Mengenai benefit dari sisi penerima manfaat, menurut Soviana (2015) penerima manfaat SE masih terjadi tumpang tindih, tetapi sebagian besar penerima manfaat SE dapat dikategorikan dalam tiga bentuk yaitu hanya segelintir orang, anggota eksklusif, dan komunitas lokal dalam pengertian yang lebih luas. Sedangkan, penerima manfaat dari CBE hanya anggota CBE atau komunitas yang lebih luas.
Namun, Soviana (2015) menjelaskan bahwa (CBE) mirip dengan Koperasi yaitu berkonsentrasi pada partisipasi masyarakat dan bertujuan untuk memberikan manfaat tidak hanya untuk anggota, melainkan juga masyarakat lokal dalam arti yang lebih luas, misalnya dalam meningkatkan kesempatan kerja. Karena, koperasi merupakan gabungan dari organisasi bisnis dengan prinsip solidaritas, egalitarianisme, dan kepercayaan (Birchall dan Simmons, 2004). Meskipun begitu CBE seperti ini juga memiliki kelemahan karena rata-rata belum memiliki blueprint dengan rancangan yang komprehensif (Soviana, 2015), yang memang dapat menghambat perkembangan BUMDes dan menghalangi penerapan tenaga kerjanya.
Bukti dari China
Jika dikelola dengan baik, BUMDes seharusnya dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mengingat bahwa studi terdahulu menunjukkan bahwa di Inggris tercatat pada 2016 setidaknya lebih dari setengah juta perusahaan pedesaan yang terdaftar memperkerjakan 3,5 juta orang (Phillipson, 2019). Sedangkan, di negara berkembang seperti China, Leung (2020) menemukan bahwa 20 juta Township and Village Owned Enterprise (TVE, semacam BUMDes di Indonesia) telah mempekerjakan 125,27 juta pekerja, hampir 26,4% buruh yang bekerja di sektor industri dan 18,8% dari total angkatan kerja nasional.
Masifnya TVE di China diduga terjadi karena status TVE di China yang berbadan hukum. TVE secara eksplisit disebutkan sebagai perusahaan yang diatur oleh undang-undang dalam hal tata cara pengelolaan, tanggung jawab, dan dukungan daerah (Suartini et al, 2019). Dengan demikian meskipun belum jelas apakah memang badan hukum ini memiliki implikasi yang luas dalam hal manajemen TVE, namun dapat diduga bahwa status badan hukum memiliki pengaruh dalam penyerapan tenaga kerja, yang dapat terjadi karena kepastian usaha.
Sebagaimana menurut Alfiansyah (2021) bahwa kedudukan BUMDes sebagai badan hukum setara dengan Perseroan Terbatas (PT), Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) di level nasional, dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di level daerah yang memiliki kepastian usaha dan berdampak positif pada penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu, dengan status BUMDes di Indonesia yang berubah menjadi badan hukum diharapkan hal ini dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Memaksimalkan Peran
Terhitung pada 2021, data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menunjukkan jumlah BUMDes di Indonesia sebesar 57.273. Sedangkan, jumlah desa di Indonesia pada 2021 menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri sebesar 83.381 yang tersebar di 34 provinsi. Jika diasumsikan per desa memiliki satu unit BUMDes, kurang lebih hanya 31% desa di Indonesia yang belum memiliki BUMDes. Hal ini merupakan bukti bahwa program Dana Desa berpengaruh secara signifikan dalam meningkatkan pendirian BUMDes.
Sementara Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) pada Agustus 2021 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di pedesaan sebesar 4,17% atau setengah dari TPT di perkotaan yang mencapai angka sebesar 8,32%. Beban pengangguran di pedesaan yang relatif lebih rendah dari perkotaan semakin membuat optimis bahwa BUMDes akan menjadi lumbung ketenagakerjaan masyarakat desa karena adanya kepastian hukum usaha.
Namun, untuk memaksimalkan peran BUMDes dalam penyerapan tenaga kerja masyarakat desa setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, perlunya pendampingan secara profesional dalam hal pengelolaan manajemen BUMDes; kedua, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mengembangkan BUMDes secara kolektif.