Penulis: Luthfi Hamdani
Sebelumnya, kita begitu antusias dengan adaptasi teknologi digital dalam berbagai bidang industri. Sejauh yang kita amati, pelaku UMKM bisa jualan di e-commerce yang memangkas beragam biaya. Mereka tetiba dapat angin segar untuk menjangkau banyak calon pembeli melalui platform media sosial. Aplikasi-aplikasi SaaS membantu proses pecatatan transaksi, pembukuan keuangan, mengatur orderan, menyimpan data dan lain sebagainya.
Start-up atau bisnis rintisan berbasis teknologi di beragam sektor bermunculan. Mereka mendisrupsi pelaku industri tradisional. Mayoritas digerakkan anak-anak muda. Sebagian tumbuh menjadi centaur, unicorn bahkan decacorn. Kita lalu optimis bahwa ekonomi semakin inklusif, semakin banyak orang dari beragam latar belakang bisa terlibat dan memperoleh manfaat.
Euforia yang menggembirakan. Banyak profesi baru bermunculan. Semua dengan imaji (image) berdiri di atas fondasi berupa kreatifitas, inovasi, kolaborasi, seru dan fleksibel sebab bisa dikerjakan kapan saja dan dimana saja.
Namun beberapa pekan terakhir kita menyaksikan perusahaan teknologi seperti Gojek-Tokopedia, Shopee, Ruang Guru, TaniHub, Zenius, Sicepat sampai LinkAja melakukan PHK pada ribuan karyawan mereka. Bayang-bayang resesi global, perang Rusia vs Ukraina, pelemahan rupiah, ajloknya daya beli hingga investor yang menggunakan momen IPO sebagai exit liquidity investasi mereka ditengarai jadi penyebab utama.
Di tengah antusiasme industri digital, kita sebenarnya sejak awal sudah diingatkan beberapa tren buruk yang menyertainya. Seperti monopoli dan kondisi “The winner takes all market”, surveillance capitalism, hubungan timpang antara perusahaan iklan dan penerbit/media, atau hubungan timpang platform “ride hailing” dengan mitranya, hingga model bisnis perusahaan digital yang lemah (belum bisa betul-betul menghasilkan profit) lalu mengejar pertumbuhan (scale up) dengan teknik “bakar uang”.
Beberapa waktu kedepan fenomena ini mungkin masih terus terjadi. Namun alih-alih pesimis, mari optimis bahwa ini proses “pahit” yang harus dilalui untuk memperbaiki fondasi bisnis pelaku industri digital.
Sebuah usaha membangun model bisnis yang lebih efisien dan profitable. Membangun relasi yang lebih baik dengan seluruh mitra dan stakeholder. Sambil menunggu banyak anak muda lain bergabung dalam kompetisi pun inivasi industri digital.
Meminjam istilah filosof Jacques Derrida, ini momen “dekonstuksif” dimana kita berupaya mencari opsi makna, metode dan strategi yang baru dalam melihat industri digital. Sambil sejenak menepikan makna, metode dan strategi yang lama.
_______________
Daftarkan diri di Prodi unggulan D4 Bisnis Digital
Daftar mahasiswa via: https://pmb.akbara.ac.id
Informasi: https://wa.me/6289518615182
Instagram & Tiktok: @bisnisdigitalakbara
Website: http://bisnisdigitalakbara.com/