Peranan lembaga keuangan dalam perekonomian dewasa ini sangatlah penting dimana eksistensi lembaga keuangan dibutuhkan dalam menopang pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Semakin maju lembaga keuangan, semakin cepat perekonomian untuk tumbuh dan berkembang. Dalam era globalisasi dewasa ini, dunia perbankan dituntut untuk menunjukkan kinerja dan pelayanan yang semakin baik.
Perkembangan perbankan di Indonesia sejak dilaksanakan deregulasi menjadikan persaingan semakin kompetitif. Hal ini sudah tentu menuntut proses pendewasaan dari perbankan Indonesia ke arah profesionalisme, karena dilaksanakan melalui penciptaan iklim bersaing yang wajar antar bank-bank di Indonesia baik bank pemerintah, swasta nasional, bank asing, maupun bank syariah.
Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit Usaha-Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha lainnya. Pengembangan system ekonomi berdasarkan nilai Islam (syari’ah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam system hukum Nasional.
Prinsip Syari’ah hadir berdasarkan nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan dan keuniversalan, yaitu rahmatan lil ‘alamin. Nilai-nilai tersebut diaplikasikan dalam pengaturan perbankan syariah berdasarkan prinsip syari’ah.
Prinsip Perbankan syari’ah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi menurut islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil.
Kegelisahan umat Islam Indonesia dalam persoalan riba ini dirasakan oleh Majlis Ulama Indonesia Pusat sehingga dikeluarkanlah Fatwa No 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (interest) tanggal 24 Januari 2004 yang menyatakan bahwa hukum praktek pembungaan uang adalah riba nasiah yang hukumnya haram.
Oleh sebab itu bagi yang sudah ada di wilayahnya kantor Lembaga Keuangan Syari’ah dan mudah dijangkau maka tidak dibolehkan melakukan transaksi dengan perhitungan bunga. Sedangkan bagi wilayah yang belum ada kantor/ jaringan lembaga keuangan syariah diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip dharurat/hajat.
Fungsi-Fungsi bank sejak zaman Rasulullah SAW juga telah dikenal, seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisnis serta melakukan pengiriman uang.
Misalnya, Rasulullah SAW sendiri yang dipercaya oleh masyarakat Makkah sehingga mereka gelari dengan al-Amien, menerima titipan harta yang beliau serahkan kewenangannya kepada Ali Ibn Abi Thalib untuk mengembalikan semua titipan itu kepada pemiliknya ketika beliau akan berangkat hijrah ke Madinah.
Begitu juga misalnya Zubair Ibn Awwam, salah seorang sahabat Rasulullah yang terkenal konglomerat, beliau lebih suka menggunakan titipan itu dalam bentuk pinjaman. Implikasinya, bahwa dengan bentuk pinjaman ia berhak memanfaatkannya dan berkewajiban mengembalikannya secara utuh.
Begitu pula halnya sahabat lainnya seperti Ibnu Abbas, ketika Ia melakukan pengiriman uang ke Kufah melakukannya dengan tercatat. Begitu pula Abdullah Ibn Zubair ketika mengirimkan uang kepada adiknya Misab Ibn Zubair di Irak juga dengan tercatat.
Perdagangan antara Syam dan Yaman telah dilaksanakan dengan cek. Bahkan Umar Ibn Khaththab menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek inilah mereka mengambil gandum dari Baitul Maal yang ketika itu di Import dari Mesir.
Pemberian modal untuk modal kerja dilaksanakan dengan cara bagi hasil seperti Mudharabah, Musyarakah, Muzara’ah, Musaqah yang telah dikenal sejak awal di kalangan Muhajirin dan Anshar.
Istilah credit dalam perbankan modern, misalnya juga berasal dari Islam yaitu Qardh. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang, credo berarti kepercayaan. Istilah qardh dalam fiqh berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Sama halnya dengan cek (check/cheque) yang diambil dari istilah sak (suq) berarti pasar, artinya cek adalah alat pembayaran yang selalu digunakan di pasar.
Di zaman Abbasiyah populer istilah Jihbiz (Persia) yang berarti penagih pajak atas barang dan tanah. Istilah ini awalnya dikenal pada zaman Muawiyah, yang di zaman Abbasiyah berupa profesi penukaran uang. Uang pada masa itu dengan jenis baru di kenal dengan fulus yang dibuat dari tembaga, yang sebelumnya dinar terbuat dari emas dan dirham terbuat dari perak.
Sehingga muncul kecenderungan para gubernur untuk mencetak fulusnya masing-masing. Keadaan ini mengakibatkan munculnya profesi baru, yaitu penukaran uang. Dengan demikian di zaman Abbasiyah ketiga fungsi perbankan telah dilakukan oleh Jihbiz (perbankan).
Dalam praktek perbankan konvensional misalnya, bisa ditemukan riba fadhl, ketika terjadi transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai (spot), sedangkan riba nasi’ah dapat terjadi dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan / deposito / giro. Riba jahiliyah dapat ditemui ketika terjadi transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.
Riba fadhl atau riba buyu’ timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria yang sama, baik kualitasnya (mitslan bi mitslin), kuantitasnya (sawaan bi sawain), maupun waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran seperti ini mengandung gharar karena ketidakjelasan bagi kedua belah pihak akan nlai barang yang dipertukarkan yang menimbulkan kezaliman dari satu pihak terhadap pihak lain.
Sedangkan riba Nasi’ah disebut juga dengan riba Duyun atau utang piutang yang tidak memenuhi kriteria yaitu untung muncul bersama risiko ( al-gunmu bi algurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al-kharaj bi al-dhaman). Transaksi ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, hanya karena berjalannya waktu.
Nasiah berarti penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Artinya, al-ghunmu (untung) muncul tanpa adanya risiko (al-ghurmu), hasil usaha (al-kharaj) mucul tanpa adanya biaya (al-dhaman), al-ghunmu dan al-kharaj diperoleh dengan berjalannya waktu. Apalagi dalam bisinis itu ada kemungkinan untung dan rugi. Dalam bank konvensional misalnya riba nasi’ah muncul ketika pembayaran bunga kredit, bunga deposito, tabungan dan giro.
Riba Jahiliyah adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba ini diharamkan karena melanggar Kaidah yang menyatakan Kullu qardhin jarra manfa’atan fauwa Riba (Setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahannya riba ini tergolong Riba Nasi’ah, dari segi samanya objek yang dipertukarkan tergolong Riba Fadhl.
Di zaman Jahiliyah para kreditur mengatakan kepada para debitur, ketika utang jatuh tempo: Lunaskanlah utangmu, atau ditunda pembayarannya itu dengan tambahan. Sehingga debitur menambah jumlah kewajiban pembayaran utangnya dan kreditur menunggu waktu pembayarannya sesuai dengan ketentuan yang baru.
Prinsip Murabahah dalam praktek Perbankan Syari’ah sebenarnya terdapat dua murabahah dengan melibatkan tiga pihak. Murabahah pertama dilakukan secara tunai antara bank sebagai pembeli dengan penjual barang. Murabahah kedua dilakukan secara cicilan antara bank sebagai penjual dengan nasabah bank sebagai pembeli, di mana bank mengambil keuntungan dari transaksi murabahah ini, dengan akad jual beli terdapat rukun jual beli, yaitu ada pembeli, ada penjual, ada barang dan ada aqad (ijab kabul).
Prinsip Ijarah dalam praktek Perbankan Syari’ah terdapat dua akad ijarah yang melibatkan tiga pihak. Ijarah pertama dilakukan secara tunai antara bank (sebagai penyewa) dengan yang menyewakan jasa. Ijarah kedua dilakukan dengan secara cicilan antara bank ( sebagai yang menyewakan) dengan nasabah bank. Bank mengambil keuntungan dari transaksi ijarah ini.
Prinsip Mudharabah dalam praktek Perbankan Syari’ah, di mana bank bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemodal (pemilik dana). Dana tersebut digunakan untuk melakukan Murabahah atau Ijarah atau untuk melakukan Mudharabah kedua. Hasil usaha ini akan dilakukan bagi hasil berdasarkan nisbah yang disepakati dengan adanya akad (ijab kabul).
Dengan menggunakan prinsip Bagi hasil Bank Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang mendorong pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya dinikmati oleh pemilik modal saja tetapi juga oleh pengelola modal.
Untuk mendukung kontribusi maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional dan menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan memberi keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syari’ah serta memberi keyakinan kepada masyarakat yang masih meragukan operasional perbankan syariah sehingga diatur pula usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang diistilahkan dengan MAGHRIB, yaitu maysir, aniaya (zalim), garar, haram, riba, dan ihtikar serta batil, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang PERBANKAN SYARI’AH pada tgl 16 Juli 2008 (Lembaran Negara RI Nomor 94 tahun 2008).
Sebab perkembangan bank syari’ah yang makin pesat sementara pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang diubah dengan Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional Perbankan Syari’ah.
Untuk sebuah bank, tantangan dan peluang yang terjadi akan semakin bertambah besar. Eksistensi dari bank ini tidak hanya dilihat dari keberhasilan mereka membaca tantangan dan peluang bisnis semata, tetapi juga kan dilihat dari keberhasilan mereka di dalam memberikan values kepada para stakeholder-nya dengan selalu memberikan yang terbaik. Baik secara produk, servis, maupun image dari bank itu sendiri.
Bank Syariah harus selalu melakukan evaluasi dan perbaikan baik secara internal maupun eksternal untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Semangat untuk menjadi lebih baik dan kemauan untuk terus belajar selalu menghidupi setiap langkah perusahaan dan menjadi bukti nyata keberadaan bank-bank Syariah sampai saat ini. Keberhasilan beberapa bank Syariah dalam menghadapi tantangan yang ada sudah terbukti dengan kinerja yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dari sisi kepentingan langsung nasabah, bank Syariah perlu memperbaiki wajah dibidang pelayanannya. Wajah bank yang agak sering mengalami gangguan off-line atau out of service menjadi bank yang memiliki IT yang tangguh dan canggih.
Wajah pelayanan yang agak lamban dan kurang friendly menjadi wajah yang sigap dan lebih bersahabat. Hal terpenting adalah mengubah wajah yang kurang begitu perhatian menjadi wajah yang sangat perduli (concern) pada kebutuhan nasabah.