Ngawi – Minggu pagi, 27 Juli 2025, di Desa Cantel, Kecamatan Pitu, Kabupaten Ngawi, matahari belum terlalu tinggi saat suara musik mulai mengalun dari Lapangan SD Negeri Cantel.
Lansia, ibu-ibu, anak-anak, hingga mahasiswa dari dua kampus berbeda, UNUGIRI dan UGM, berkumpul dalam satu semangat yang sama: bersilaturahmi, berolahraga, dan berbahagia.
Kegiatan bertajuk “Srawung Bareng Masyarakat Desa Cantel” itu tidak seperti seremoni biasa. Ia mengalir seperti arus pertemanan yang sederhana namun tulus.
Dimulai dengan penanaman bibit sebagai simbol harapan, dilanjutkan dengan senam bersama, lalu tawa pecah di antara undian doorprize yang dibagikan.
Semua larut dalam suasana—tak ada batas antara siapa mahasiswa, siapa warga. Yang ada hanyalah rasa: saling menyambut dan saling menghargai.
Sumini, salah satu warga yang ikut hadir, terlihat begitu menikmati pagi itu. “Seru banget. Bukan cuma saya yang merasa begitu, semua juga,” ucapnya sambil tersenyum, seolah tak ingin hari itu cepat selesai.
Suparlan, Kepala Desa Cantel, tampak bangga melihat wajah-wajah bahagia di sekelilingnya. “Kegiatan senam bersama lansia dan masyarakat tadi pagi membuat saya merasa sangat bangga,” ujarnya.
Ia bahkan berharap agenda seperti ini bisa dilanjutkan setiap pekan, menjadi bagian dari budaya sehat dan guyub di desanya.

Bagi para mahasiswa, momen ini tak hanya soal menjalankan program KKN. Ini tentang mengenal kehidupan dari dekat. Tentang bagaimana ilmu kampus bisa menyentuh hati warga.
Syifa Qolbi, Koordinator Kecamatan KKN UGM, mengaku terkesan dengan dinamika kolaborasi antar universitas. “Ternyata kegiatan kolaborasi seperti ini meriah sekali. Selain tambah pengalaman, juga dapat banyak teman baru,” katanya.
Hal senada disampaikan Rosyfiana Syafi’i Salma, Koordinator Desa KKN UNUGIRI. Wajahnya semringah saat menceritakan betapa antusiasnya warga.
“Senang banget melihat warga yang begitu semangat. Bahkan saking senangnya sampai bingung mau ngomong apa,” ucapnya diselingi tawa ringan.
Kegiatan ini bukan hanya pemanasan dari rangkaian KKN yang panjang. Ia menjadi fondasi dari hubungan yang lebih dalam: antara mahasiswa dan desa, antara ilmu dan kebijaksanaan lokal, antara generasi muda dan penjaga kearifan.
Karena terkadang, pengabdian bukan tentang program-program besar. Tapi tentang momen kecil yang tulus: menyapa, mengajak senam, berbagi hadiah kecil—dan menciptakan tawa yang mengikat kita sebagai manusia.
***
Ditulis oleh: Alfitrishofia Rahma Zaitun














