Bayangkan sebuah perusahaan yang ingin menghemat biaya dengan menutup pabrik. Keputusan itu mungkin baik bagi laporan keuangan, tetapi bayangkan juga nasib para pekerja yang kehilangan pekerjaan, keluarga mereka, hingga konsumen yang tak lagi bisa membeli produk yang biasa mereka pakai.
Inilah dilema etis dalam dunia bisnis: keputusan perusahaan tak hanya berdampak pada pemilik modal, tapi juga pada masyarakat luas. Karena itu, bisnis modern dituntut untuk menyeimbangkan keuntungan dengan tanggung jawab sosial.
Di sisi lain, perdebatan klasik masih terus berlangsung. Ekonom Milton Friedman berpendapat, bisnis seharusnya hanya fokus pada keuntungan. Menurutnya, jika perusahaan mengeluarkan uang untuk isu sosial atau lingkungan, justru akan mengurangi efisiensi.
Namun, banyak tokoh lain yang menolak pandangan ini. Mereka percaya, keuntungan hanyalah sarana, bukan tujuan akhir. Archie Carroll bahkan merumuskan empat pilar tanggung jawab bisnis: ekonomi, hukum, etika, dan sukarela. Dengan kata lain, bisnis yang hanya mengejar profit tanpa peduli etika berisiko kehilangan legitimasi sosial.
Nyatanya, menjadi perusahaan yang etis justru membawa banyak keuntungan. Konsumen lebih loyal pada merek yang peduli lingkungan, karyawan berbakat lebih tertarik bekerja di perusahaan yang punya nilai moral, dan perusahaan lebih mudah diterima di pasar global.
Salah satu cara mewujudkannya adalah lewat kode etik yang jelas, bukan hanya di atas kertas, tapi benar-benar diterapkan dalam budaya kerja dan sistem informasi. Dengan begitu, bisnis bukan hanya mesin pencetak uang, tetapi juga motor perubahan positif bagi masyarakat.
Baca materi lengkapnya pada tautan berikut: Ethical and Social Issues in Information System














