Sukoharjo, 30 September 2025 — Menutup bulan September, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Mohammad Hatta Komisariat Raden Mas Said Cabang Sukoharjo menggelar diskusi bertajuk “Teras Pergerakan” dengan tema “Menerawang Kembali Bayang-Bayang September Hitam”. Acara ini menjadi ruang reflektif bagi para anggota PMII untuk mengkaji kembali berbagai tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan bulan September.
Diskusi dimulai dengan pemantik dari Sahabat Dira Putra yang menanyakan, “Apa yang kalian tahu tentang September Hitam?” dan “Apakah ada yang pernah mendengar tentang Aksi Kamisan?” Pertanyaan sederhana itu langsung memunculkan berbagai respons. Namun menariknya, sebagian besar peserta hanya menyinggung peristiwa G30S/PKI. Fenomena ini menandakan bahwa generasi mahasiswa saat ini cenderung melihat sejarah dari satu sisi saja, tanpa memahami konteks luas dari tragedi-tragedi lain seperti peristiwa Tanjung Priok, kasus penghilangan paksa 1998, atau bahkan kondisi sosial-ekonomi di masa transisi politik Indonesia.
Melihat arah diskusi yang mulai memanas, Sahabat Noval dari Biro Keilmuan mencoba membuka cakrawala baru. Ia menanyakan pandangan peserta tentang film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, yang sempat menjadi tontonan wajib di era Orde Baru. Pertanyaan ini memicu perdebatan hangat mengenai bagaimana film tersebut membentuk opini publik dan menanamkan narasi tunggal dalam memori kolektif bangsa. Beberapa peserta bahkan mengaku pernah menonton beberapa versi film yang berbeda, memunculkan pertanyaan baru:
“Apakah ada versi yang disesuaikan untuk kepentingan politik tertentu?” dan “Mengapa hanya satu versi yang diakui resmi?”. Sahabat Noval kemudian menambahkan dimensi lain dalam memahami istilah “September Hitam”. Ia memaknai kata “Hitam” bukan hanya dari segi tragedi politik dan kemanusiaan, tetapi juga dari sisi ekonomi. Menurutnya, masa-masa transisi kepemimpinan nasional, khususnya antara era Soekarno ke Soeharto, menjadi periode penuh gejolak ekonomi. Inflasi yang sangat tinggi, menurunnya nilai tukar rupiah, serta memburuknya daya beli rakyat memperlihatkan “kegelapan” lain yang jarang dibicarakan dalam narasi sejarah resmi.
“Hitam di sini juga bisa berarti ketidakpastian ekonomi dan penderitaan rakyat akibat pergantian rezim,” ujarnya.
Perspektif ini menambah kedalaman diskusi, memperluas pemahaman peserta bahwa sejarah tidak hanya ditulis dalam darah dan kekuasaan, tetapi juga dalam angka-angka ekonomi yang menggambarkan nasib rakyat kecil.
Sahabat Jehan kemudian melengkapi pandangan tersebut dengan analisis geopolitik. Ia menyebut bahwa peristiwa G30S/PKI tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perang dingin antara blok timur dan blok barat. Soekarno yang condong ke blok timur dan Soeharto yang berpihak pada blok barat, menurutnya, menciptakan ketegangan yang akhirnya menjadi percikan dalam percaturan politik Indonesia.
Ia juga berpendapat bahwa D.N. Aidit, tokoh penting PKI kala itu, lebih dikenal sebagai sosok diplomatis yang berusaha memperjuangkan ideologinya melalui jalur politik, bukan kekerasan. Menjelang akhir, Sahabat Dira kembali mengajukan pertanyaan reflektif kepada peserta,
“Apakah memperingati September Hitam dan melakukan Aksi Kamisan masih relevan di masa kini?”
Mayoritas peserta beranggapan bahwa bentuk perjuangan memang perlu disesuaikan dengan zaman. Aksi turun ke jalan mungkin kini kurang efektif, mengingat respons pemerintah yang sering kali tidak menggubris. Namun, semangat memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan tetap harus hidup. Salah satu saran yang muncul adalah memanfaatkan media sosial sebagai ruang perjuangan baru—media digital dianggap lebih mampu menjangkau masyarakat luas dan menumbuhkan kesadaran kritis di kalangan muda.
Diskusi “Teras Pergerakan” ini bukan hanya menjadi forum intelektual, melainkan juga ruang aktualisasi gagasan dan kesadaran sejarah. Melalui kegiatan semacam ini, PMII Rayon Mohammad Hatta berupaya menghidupkan kembali semangat berpikir kritis mahasiswa agar tidak sekadar menghafal sejarah, tetapi menafsirkan dan memaknainya secara kontekstual. September Hitam tidak hanya menjadi pengingat akan masa lalu yang kelam, melainkan juga refleksi atas kondisi bangsa hari ini—bahwa perjuangan melawan penindasan, ketimpangan, dan kebisuan tetap relevan sepanjang masa.














