Penulis: Moehammad Robith Nahdi
Bagi masyarakat miskin, pilihan antara memenuhi isi perut atau isi pikiran merupakan hal sulit untuk dihindarkan. Masyarakat miskin sering dihadapkan pada dilema besar, memilih untuk mencari nafkah agar bisa makan hari ini atau investasi dalam pendidikan yang manfaatnya baru bisa dirasakan di masa depan.
Pendidikan seharusnya menjadi hak setiap warga negara, namun realitanya pendidikan seakan menjadi hak eksklusif untuk orang orang yang mampu, masyarakat miskin hanya bisa menikmati pendidikan dengan fasilitas seadanya.
Data BPS per september 2024 mencatatkan tingkat kemiskinan Indonesia adalah 8,57 persen atau 24,06 juta orang dari populasi. Memang data tersebut menunjukkan penurunan dari sebanyak 9,36 persen atau 25,9 juta orang berdasarkan data BPS maret 2023.
Berdasarkan dari data tersebut memang terjadi penurunan, namun pada realitanya kemiskinan tetap bergelut dengan masyarakat saat ini. Hal yang tidak sebanding karena standar kemiskinan yang tidak dirubah sejak tahun 1998, sedangkan inflasi yang setiap tahunnya meningkat.
Begitupula tingkat pendidikan masyarakat indonesia yang sebagian besar mereka adalah tamat sekolah dasar. Pendidikan merupakan indikasi kualitas SDM dalam suatu negara yang pada akhirnya berdampaknya pada ekonomi, ketimpangan dan persaingan tenaga kerja saat ini menjadi tantangan dari tingginya ketimpangan kualitas sumberdaya manusia.
Ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan tingkat ekonomi, jika semakin tinggi pendidikan seseorang maka peluang untuk mendapatkan penghasilan yang layak akan semakin tinggi.
Pada tulisan ini, penulis berfokus pada rendahnya tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan yang rendah akan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Dengan pola pikir yang buruk akan mempengaruhi bagaimana keadaan sosial ditengah masyarakat berjalan. Contohnya adalah ketika menghadapi masa masa pemilu.
Baca Juga: Buku Referensi Membangun Bisnis Sosial
Sistem demokrasi yang mengatur setiap orang memiliki hak dan suara yang sama, dengan sebagian besar masyarakat yang berpendidikan rendah. Maka tidak salah jika masyarakat memilih atas dasar ”berapa jumlah uang” yang diberikan para calon.
Begitu pula dalam konteks lainnya, dalam konteks sosial contohnya masyarakat banyak yang percaya dengan hal-hal yang tidak rasional, akibatnya tingkat kriminalitas berupa penipuan juga masih marak terjadi.
Jika berbicara tentang rendahnya tingkat pendidikan, terdapat faktor kompleks yang mempengaruhinya. Tidak bisa jika hanya diatasi dalam jangka waktu 1-5 tahun, namun butuh waktu yang sangat lama untuk menciptakan kesadaran bahwa pendidikan sangatlah penting. Pada tulisan ini penulis berfokus pada 2 faktor yang menyebabkan tingkat kesadaran akan pendidikan masih lemah, faktor Struktural dan Kultural.
Faktor struktural, berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang untuk memperoleh sumber daya atau kesempatan yang sama dengan yang lain, seperti yang penulis tuliskan di awal, pendidikan seakan menjadi hak eksklusif bagi sebagian masyarakat.
Sebagian masyarakat menengah ke bawah akan lebih memilih anaknya untuk membantu mencari uang daripada mengeluarkan biaya yang besar untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Survei pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa rata rata biaya pendidikan perguruan tinggi mencapai Rp. 14,47 juta setiap tahun, dengan jumlah segitu besar maka hanya sebagian masyarakat yang mampu menempuhnya.
Belum lagi fasilitas pendidikan yang tidak merata di setiap daerah yang akan menyulitkan masyarakat untuk mendapat pendidikan yang baik, hal yang banyak dilakukan adalah melakukan perantauan ke kota kota lain yang akan membutuhkan biaya yang lebih tinggi.
Kedua, Faktor kultural, masyarakat menengah kebawah banyak yang kurang menyadari bahwa pendidikan sangatlah penting untuk kehidupan mereka kedepan. Pandangan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama kondisi ekonomi yang menuntut mereka untuk lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan.
Banyak keluarga di kelompok ini beranggapan bahwa bekerja lebih penting daripada bersekolah, karena dapat memberikan manfaat ekonomi secara langsung, sementara pendidikan dianggap memakan waktu lama tanpa hasil yang instan.
Selain itu, minimnya pemahaman tentang pentingnya pendidikan untuk mobilitas sosial juga berperan dalam rendahnya motivasi mereka untuk menyekolahkan anak-anak hingga jenjang lebih tinggi. Budaya turun-temurun dalam keluarga yang sudah terbiasa bekerja sejak usia dini semakin memperkuat anggapan bahwa sekolah bukanlah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang lebih baik. Akibatnya, banyak anak dari keluarga menengah ke bawah yang akhirnya putus sekolah dan terjebak dalam siklus kemiskinan yang sulit diputus.
Dari paparan diatas, seharunya ada penanganan atau program yang secara perlahan dan berkelanjutan yang berpengaruh pada pemahaman masyarakat serta mudahnya masyarakat untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi.
Pada fenomena belakangan ini, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan efisiensi anggaran untuk APBN 2025, salah satu yang mendapatkan pemotongan yakni pada anggaran sektor pendidikan. Sangat disayangkan sekali ketika masyarakat membutuhkan pendidikan untuk menjadi landasan kehidupan yang lebih layak dan meningkatkan daya saing, justru diambil haknya untuk kepentingan janji politik yang belum tentu memberikan dampak baik bagi sebagian besar masyarakat.